AMAN Meminta Majelis Hakin PN Soasio, Tidore Maluku Utara Membebaskan Bokum dan Nuhu Dari Segala Tuntutan Hukum

Jakarta 20/ 9/ 2015 – Bokum (35) dan Nuhu (40), dua orang warga Togutil Akejira sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Soasio, Kepulauan Tidore, Maluku Utara

Kasus ini bermula pada penangkapan Bokum dan Nuhu, pada pukul 02.00 Wit tanggal 1 Maret 2015, di Desa Woejerana, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera. Penangkapan dilakukan oleh 10 orang anggota polisi berpakaian preman dengan persenjataan lengkap, Bokum dan Nuhu dibawa dalam pengawalan yang ketat hingga ke Polres Halmahera Tengah, keduanya mengalami penganiayaan oleh anggota Polres.

Alasan penangkapan adalah tewasnya dua warga Waci pada tahun 2013 dan dua orang lainnya pada tahun 2014 di sekitar perbatasan Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, tepatnya didalam hutan dibelakang Desa Waci atau sekitar Woesopen. Suku Togutil tersebar di beberapa desa, salah satunya adalah daerah bagian Woesopendan dua orang lainnya pada tahun 2014 di sekitar perbatasan Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, tepatnya di dalam hutan di belakang Desa Waci atau sekitar Woesopen. Suku Togutil tersebar di beberapa wilayah, salah satunya adalah daerah bagian Woesopen.

Bokum dan Nuhu adalah Suku Togutil yang bermukim di daerah Akejira yang secara kewilayahan jaraknya berjauhan dengan Woesopen. Berdasarkan kebiasan dan kesepakatan secara turun temurun, Suku Togutil Akejira tidak bisa begitu saja memasuki wilayah adat Woesopen, kecuali diizinkan oleh Suku Togutil Woesopen. Dengan demikian, jika Polisi menduga yang melakukan pembunuhan adalah suku Togutil maka lebih memungkinkan mencari Suku Togutil Woesopen daripada Togutil Akejira yang wilayah adatnya sangat jauh dari lokasi pembunuhan.

Polisi mendasarkan penangkapan ini pada keterangan saksi sebanyak 12 orang. Tidak satupun saksi yang memberikan keterangan melihat kejadian pembunuhan baik dalam peristiwa pertama atas ditemukannya korban pembunuhan di atas perahu yang dihanyutkan melalui Sungai Waci, maupun pada peristiwa pembunuhan ke dua, dari 3 orang korban, 2 meninggal dan hanya satu korban yang selamat. Saksi hanya menyebutkan pelaku pembunuhan adalah orang bercawat, berjanggut dan berambut gondrong, ciri-ciri umum yang dimiliki oleh suku togutil.

Fakta persidangan dalam kasus ini :

1. Lokasi pembunuhan jauh berada di luar kawasan wilayah adat Suku Toguli Akejira

2. Bahwa saat peristiwa pembunuhan terjadi, Bokum dan Nuhu sedang bersama komunitas mereka berada di hutan Akejira, bukan di hutan dimana peristiwa pembunuhan terjadi.

3. Bahwa alat bukti berupa anak panah yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum ke muka persidangan, bukannya anak panah yang sering digunakan oleh Suku Togutil tetapi anak panah tersebut memiliki ciri dengan senjata panah yang sering digunakan
oleh masyarakat pesisir (Tobelo pesisir atau Tobelo pantai).

4. Bahwa berdasarkan keterangan saksi, pelaku pembunuhan adalah orang yang memakai cawat akan tetapi bokum dan nuhu sudah memakai baju dan meniggalkan cawat (pakaian khas togutil) sejak tahun 2006, Bokum dan Nuhu sejak 2006 sampai sekarang sudah memakai celana dan kaos.

5. Penerjemah yang dihadirkan JPU dipersidangan merupakan salah satu orangtua anggota kepolisian yang terlibat dalam penangkapan Bokum dan Nuhu, Terjemahan yang disampaikan menjadi bias kepentingan, tidak sesuai dengan keterangan yang disampaikan kedua terdakwa.

6. Hingga akhir persidangan, Jaksa Penuntut Umum tidak mampu mengungkap dan membuktikan motif pembunuhan yang didakwakan kepada Bokum dan Nuhu.

Disamping hal-hal tersebut, beberapa hak-hak Bokum dan Nuhu yang dilanggar sejak proses penangkapan hingga dihadirkan dimuka persidangan :

1. Dalam pasal 21 ayat (2) KUHAP dijelaskan bahwa polisi harus memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan, sedangkan pada waktu penangkapan Bokum dan Nuhu, pihak Kepolisian tidak membawa dan menunjukkan kedua surat tersebut.

2. Asas Presumption of Innocent atau asas Praduga Tak Bersalah. Bokum dan Nuhu, berdasarkan keterangan saksi yang ada di lokasi penangkapan, dipukuli selama perjalanan menuju Polres Halmahera Tengah di Weda, hal ini juga melanggar hak tersangka yaitu asas Praduga Tak Bersalah. Selama proses penyidikan sampai pada putusan di pengadilan, tersangka/terdakwa berhak dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, hal ini termuat dalam ketentuan umum KUHAP dan pasal 8 ayat (1) UU no 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Berdasarkan hal di atas, anggota Polres Halmahera Tengah yang melakukan penangkapan tidak berhak melakukan penganiayaan, mengingat juga sewaktu penangkapan Bokum dan Nuhu tidak melakukan perlawanan.

3. Dalam Pasal 51 KUHAP dijelaskan bahwa Bokum dan Nuhu berhak diberitahukan dengan jelas tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan, dan apa yang didakwakan padanya pada waktu proses persidangan dalam bahasa yang dimengerti oleh mereka (pasal 53 ayat (1) KUHAP). Dalam hal ini Bokum dan Nuhu tidak berbicara memakai bahasa Indonesia ataupun bahasa Melayu Ternate. Keduanya hanya mengerti bahasa Tobelo halus, namun mereka tidak disediakan penerjemah sehingga Bokum dan Nuhu hanya menunjukkan raut muka bingung dan tidak mengerti selama penyidikan dan persidangan,
yang mana tidak memenuhi aspek yang disebutkan dalam KUHAP bahwa tersangka/terdakwa harus mengerti benar tentang apa yang disangkakan/didakwakan kepada mereka.

Oleh karena itu, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) meminta kepada majelis hakim yang menangani perkara No : Pid 42/Pidsus/2015/PN.SOS yang menyidangkan Bokum dan Nuhu untuk bersikap adil dalam melihat fakta, baik fakta yang terungkap dipersidangan, maupun fakta yang merupakan kebiasaan yang selama ini berlaku bagi masyarakat Togutil, meminta majelis hakim untuk membebaskan dari segala tuntutan hukum kepada Bokum dan Nuhu**** Monica Ndoen- Sinung Karto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *