Buruknya Tata Kelola Sumberdaya Alam Di Maluku Utara

 

Beberapa hari lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengumumkan selama 2 tahun terdapat 721 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang perlu dicabut atau tidak perlu diperpanjang izinnya. Ini sebagai rangkaian dari agenda koordinasi dan supervise (Korsup) KPK bersama beberapa Kementerian dan Lembaga.

Setidaknya ada 12 Provinsi di Indonesia sebagai target Korsup KPK, salah satunya Provinsi Maluku Utara. Penetapan Maluku Utara menjadi bagian dari Korsup KPK tersebut adalah sebagai gambaran buruknya tata kelola sumberdaya alam di negeri ini. Pengelolaan sumberdaya alam tidak banyak memberikan manfaat berarti terhadap pembangunan, justru sebaliknya lebih banyak menimbulkan kerugian secara ekonomi dan ekologi.

Kementerian ESDM merilis data yang mencengangkan, terdapat 10.922 IUP tersebar di 12 Provinsi (Riau, Jambi, Bangka Belitung, Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara), di Indonesia. Jumlah itu mencaplok wilayah Indonesia kurang lebih 70 persen lahan di Indonesia. Artinka masih ada sebagian kecil wilayah sekitar 30 persen yang bebas dari izin tambang.

Tapi jangan dulu merasa tenang, sisa wilayah tersebut juga terancam oleh industry lain seperti perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), Hak Penguasaan Hutan (HPH) dan perluasan infrastruktur pembangunan. Dari total izin tambang di atas, di Maluku Utara terdapat 335 IUP.

Terbanyak di Kepulauan Sula (97 IUP), Halteng (66 IUP), Halsel (56 IUP), Haltim (41 IUP), Halut (38 IUP), Tikep (15 IUP), Halbar (8 IUP), Kep. Morotai (8 IUP), dan Pemprov (6 IUP). Total luas izin tambang di Maluku Utara sudah mencapai 1,19 juta hektar. Separoh dari luas wilayah darat daerah ini sudah dikonversikan menjadi kawasan pertambangan mineral dan batu bara.

Luas wilayah konsesi yang terancam rusak dieksploitasi ini ternyata tidak ada dana jaminan reklamasi yang disediakan perusahan kepada pemerintah daerah. Memang aneh, padahal dana jaminan reklamasi tersebut sebagai kewajiban bagi setiap pemegang izin yang peruntukannya melakukan reklamasi pasca tambang. Kenapa harus diserahkan kepada pemerintah, supaya sewaktu – waktu pemegang izin meninggalkan lokasi tambang, dana tersebut digunakan untuk mereklamasi lahan dan hutan yang rusak. Sejauh ini beberapa lokasi yang sudah rusak setelah selesai diekploitasi tidak dieksploitasi. Lahan dan hutan yang rusak tersebut dibiarkan begitu saja oleh pemegang zin.

Dari jumlah IUP tersebut, KPK menyatakan 108 IUP di Maluku Utara bermasalah atau tidak Clean and Clear (Non CnC). Perusahan – perusahan rata – rata tumpang tindih wilayah konsesi dan kawasan hutan, tidak membayar keuangan seperti royalti dan iuran tetap, tidak memiliki laporan eksploitasi maupun studi kelayakan dan dokumen lingkungan.

Pemerintah daerah memang tidak tegas terhadap pemegang izin yang tidak menjalankan kewajiban hukumnya. Bukti yang terlihat, sejak 2011 sampai 2013, pemerintah daerah masih memiliki piutang pada setiap pemegang izin tambang mencapai Rp. 98.001.549.255, yang bersumber dari dana iuran tetap dan royalti. Dana sebesar ini semestinya masuk ke Kas Daerah dalam bentuk pendapatan daerah.

Banyak IUP juga tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Data KPK juga menemukan ada 8 pemegang izin tambang yang tidak memiliki NPWP sementara 105 NPWPnya belum terkonfirmasi. Tentu pemegang izin ini berpotensi untuk tidak membayar pajak kepada negara. Kelalaian terhadap keharusan Wajib Pajak (WP) bisa menyebabkan kerugian negara di sector tambang mencapai miliyaran rupiah. Beberapa izin tambang juga tumpang tindih dengan kawasan hutan. Perusahan tersebut ditengarai tidak memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan.

18 IUP bahkan tumpang tindih dengan kawasan konservasi, padahal dalam UU Nomor 5 tahun 1990 Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistem dan UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, melarang ada aktifitas pertambangan di dalam kawasan konservasi dan kawasan lindung. Kawasan hutan di Maluku Utara yang luasnya hanya 2.515.220 hektar terancam hilang fungsi akibat pemberian izin tambang. Sebenarnya di Era Presiden SBY, sudah ada INPRES Nomor 10 tahun 2011 dan INPRES Nomor 6 tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru (PPIB) dalam rangka perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut, namun rupanya tidak berlaku bagi Pemerintah Daerah di Maluku Utara. Penelusuran AMAN Malut, menemukan selama INPRES ini berlaku ada pemberian izin selama itu kepada 47 perusahan tambang yang berada di dalam kawasan hutan sebagaimana ditetapkan dalam INPRES.

Belum lagi izin-izin tersebut juga tumpang tindih dengan wilayah adat dan wilayah kelola masyarakat adat dan masyarakat lokal. Kelompok Masyarakat adat/lokal harus kehilangan akses terhadap sumberdaya alam yang selama ini menjadi sumber utama kehidupan mereka. Ujung dari praktek yang melanggar HAM ini adalah Konflik yang melibatkan masyarakat adat/local dengan negara dan pemodal. Arena konflik ini dibiarkan berlangsung terbuka, dan masyarakat adat/lokal harus berhadapan dengan kekuatan pemodal yang didukung kelompok korporatokrasi. Jangan heran masyarakat adat/lokal banyak dikriminalisasi karena dianggap menghalangi pembangunan. Situasi ini dilengkapi dengan tidak ada mekanisme yang disediakan pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik di sector SDA.

Kerusakan ekologi akibat dari cara kerja industry ekstraktif ini telah menyebabkan terganggunya sumber – sumber penghidupan masyarakat yang hidup di kepulauan ini. Sumber penghidupan yang paling terancam adalah pangan dan energi. Krisis air, pencemaran lingkungan serta hilangnya akses pada tanah dan hutan menjadi problem utama pada masyarakat dimana industry tersebut bekerja. Kerentanan ekologi seperti ini tidak diperhitungkan sejak awal pada saat kebijakan tersebut dirumuskan. Praktis hal – hal yang berhubungan dengan sumber penghidupan masyarakat itu tidak dianggap penting untuk dilindungi oleh pemerintah dari ancaman kerusakan.

Korupsi SDA

Korsup KPK tersebut tujuannya menyelamatkan pendapatan negara dari sector sumberdaya alam yang rawan di korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengumumkan dalam satu rilisnya, beberapa tahun berjalan di 5 Provinsi di Indonesia antara lain Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, NTT, Sulawesi Utara dan Jawa Timur, kerugian akibat korupsi di sektor sumberdaya alam mencapai Rp 201,82 triliun. Korupsi ini tidak saja di sektor pertambangan, namun juga terjadi di sektor perkebunan dan kehutanan. Praktek ini biasanya dimulai dari manipulasi pajak, manipulasi laporan produksi, perambahan hutan secara illegal termasuk di dalam kawasan konservasi, tidak dilakukan pembayaran dana reklamasi, suap untuk kemudahan izin. Praktek semacam ini biasa dilakukan oleh penyelenggara negara berkelaborasi dengan pemodal. Hal serupa juga terjadi juga di Maluku Utara. Pola dan caranya tidak berbeda. Tujuannya untuk memperoleh keuntungan secara ekonomi tanpa memikirkan kelangsungan pembangunan dan masa depan masyarakat.

Di sector kehutanan juga sangat rentan dengan penyuapan dan pemerasan. Untuk satu izin yang dikeluarkan baik berupa izin Hak Penguasaan Hutan (HPH) atau Hutan Tanaman Industri (HTI), nominal yang dibayar dalam bentuk suap bisa lebih dari Rp 688 juta sampai 22,6 miliar per tahun (KPK, 2013).

Hajatan politik seperti Pilkada dan Pileg beberapa tahun belakangan, merupakan tahun dimana izin – izin pertambangan, perkebunan dan kehutanan ini masif dikeluarkan oleh kelapa daerah. Biasanya izin – izin tersebut digunakan menjadi modal ekonomi untuk merebut dan mempertahankan kembali kekuasaan politik. Benar – benar SDA di daerah ini digadaikan untuk kepentingan politik sekelompok orang saja. Jadi bukan semata – mata dikelola untuk kesejahteran rakyat.

Langkah KPK tersebut sudah tepat untuk menyelamatkan kerugian negara di sektor SDA. Selain itu KPK harus lebih serius mengusut praktek korupsi di sector SDA yang melibatkan penyelenggara negara yang selama ini menyalagunakan kekuasaannya untuk memperoleh keuntungan melimpah. Penegakan hukum ini menjadi mendasar sebab disitulah sumber masalah yang sebenarnya.

Kebijakan pada sektor ini perlu dievaluasi secara total oleh pemerintah. Bahwa kita juga tidak sekedar bicara perusahan tersebut harus Clean and Clear, sebab ada aspek lain yang berhubungan dengan kelangsungan hidup masyarakat yang perlu diutamakan bagi setiap pembuat kebijakan. Tidak ada jaminan ketika pemegang izin telah dinyatakan Clean and Clear lalu aktifitasnya tidak menimbulkan kerusakan ekologi yang bisa mengganggu sumber – sumber penghidupan masyarakat. Terutama yang menggantungkan hidupnya pada ketersediaan sumberdaya alam. Bukan sekadar aspek ekonomi semata yang di kedepankan, namun Negara juga harus melindung kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumberdaya alam tersebut. Negara harus mendorong pembangunan untuk pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia, termasuk masyarakat adat/lokal. Di situlah mandat konstitusi yang sesungguhnya.(*)

Penulis: Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *