Ali Yang Meratap Hidup Karena Tidak Bisa Berbuat Apa-Apa

AMAN Malut dan Daurmala setelah berkunjung dan foto bersama Ali dan Keluarganya di rumah kontrak mereka.

Sejak berada di Ternate 12 Oktober 2016, 10 anggota keluarga dari suku Tobelo Dalam (O’Hongana Manyawa) Ali Mustika, Rina, Nudhidayanti Eve, Rahmat Eve, Bilal Eve, Reva Eve, Bella Eve, Boi Ali Mustika, Marwa Kokomane, Jein Nuhu yang keluar dari hutan Akejira beberapa bulan lalu, hidupnya sungguh memprihatinkan. Mereka harus beradaptasi dengan kultur dan lingkungan yang berbeda dari biasanya. Mereka tidak memiliki pekerjaan untuk membiayai kehidupan mereka sehari – hari. Sehari – hari cuma hidup di dalam rumah. Beruntung warga disekitar masih punya empati untuk memberikan sumbangan makanan maupun pakaian.

Saat AMAN dan Daurmala berkunjung di rumah kontrakan mereka terlihat beberapa anak yang bermain menderita penyakit kulit di sekujur kaki dan tangan mereka, namun tidak mendapatkan perawatan penyembuhan.Tampak juga beberapa anak dan seorang pemuda dengan pakaian juba baru saja selesai melaksanakan sholat Dzuhur. Salah satu diantara mereka Ali Mustika yang berperan sebagai kepala rumah tangga. Ali adalah nama yang diberikan setelah beliau bersama beberapa anggota keluarga tersebut memeluk agama Islam, sementara nama beliau di hutan adalah Pupudo. Pria yang menurut keterangan Akte Kelahiran yang dibikin oleh pihak kelurahan Moya baru berumur 27 tahun tersebut, sudah sedikit fase menggunakan bahasa Melayu Ternate, dibandingkan yang lainnya. Ali sendiri adalah suami dari Rina, ibu tirinya sendiri yang dinikahi setelah ayahnya meninggal.

Ali mengatakan mereka sudah tidak mau kembali ke hutan, namun tidak tau harus tinggal dan hidup dimana. Bagi Ali yang penting mereka bisa makan sehari – hari. Ali sendiri mendambakan bisa memiliki sebidang tanah supaya bisa dijadikan lahan kebun. Namun sulit bagi Ali untuk mewujudkan mimpi itu di Kota Ternate yang praktis sudah tidak ada lahan kosong.

Sebagai kepala keluarga, tentu Ali memikul tugas dan peran yang cukup berat, namun tidak demikian dengan kondisi mereka saat ini. Ali sepertinya tidak berdaya, beliau tidak bisa bekerja apa-apa, tidak ada skill yang di miliki untuk bekerja dengan cara kerjanya di Kota. Segala kebutuhan mereka diharapkan datang dari belas kasihan warga, termasuk Ali pun demikian.

Ali dan keluargnya juga baru saja menghadapi masalah ketika anak tirinya Nurhidayanti Eve (Rurut) dibawa orang lain ke Galela untuk dikawinkan dengan warga setempat tanpa melalui pembicaraan dengan mereka sebagai orang tua. Namun mereka tidak berdaya untuk mengambil kembali anak tirinya tersebut. Ali dan Rina pasrah dengan kejadian tersebut, bahkan tidak tau anak mereka saat ini ada dimana.

Kelompok orang Tobelo Dalam ini keluar dari hutan beberapa bulan lalu. Indikasi mereka keluar dari hutan Akejira karena semakin menipisnya sumber pangan yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari – hari. Juga sering terjadi perang antar kelompok orang Tobelo Dalam yang membuat mereka yang tidak kuat harus menerima nasib tersingkir dari ruang hidup mereka. Selama berada di Ternate, Ali dan 9 anggota keluarga tersebut mendiami rumah yang di kontrak Yayasan Al-Munawar di Kelurahan Moya – Ternate Tengah.

Kedatangan mereka di Ternate, bukan atas keinginan Ali dan keluarganya, namun mereka dibawa oleh Yayasan Sukma. Awalnya mereka ditempatkan di kelurahan Toloko/SKB, lalu dipindahkan lagi ke Moya. Keterangan warga, selama kurang lebih 3 bulan berada di Moya, Yayasan tersebut sudah jarang mengunjungi mereka, bahkan sumbangan pun jarang diberikan. Beberapa kali mereka dapat sumbangan beras dan uang dari Yayasan Al-Munawar namun tidak seberapa karena tidak mencukupi kebutuhan mereka sehari – hari.

Jika mereka kehabisan makanan biasanya mereka akan berkunjung di rumah warga dan meminta makanan. Makanan yang paling mereka sukai seperti ubi, pisang, singkong dan sagu. Jenis makanan inilah yang akrab dengan lidah mereka semasa di hutan.

Saat keluar dari hutan, Gubernur Maluku Utara juga sempat bertemu dengan mereka, namun tidak disertai bantuan untuk membantu Ali dan keluarganya. Sejauh ini pemerintah provinsi tidak pernah mengunjungi apalagi memberi bantuan ke mereka.

Ali dan keluarganya harus berusaha keras beradaptasi dengan lingkungan yang mereka tempati. Beruntung warga di Moya bisa menerima mereka apa adanya dan telah dianggap sebagai bagian dari warga pada kelurahan tersebut. Jika mereka sakit dan berobat di RSUD, warga berbondong – bondong memberikan sumbangan untuk mencukupi biaya mereka berobat. Pernah sekali Ali dan keluarganya sakit dan harus di rawat di RSUD Chasan Boesoiri, biaya berobat mereka datang dari hasil gotong royong warga setempat. Tidak cuma itu, beberapa anak mereka juga diambil oleh warga untuk disekolahkan baik di TK maupun SD.

Ali dan keluarganya sebenarnya berharap bisa membangun hidup mereka dengan kemampuan yang mereka miliki. Sebagai orang yang lahir dan besar di hutan, Ali memiliki kemampuan untuk membangun masa depan keluarganya dengan cara dan kebiasaan mereka sendiri. Tentu kita berharap Ali bisa kembali menggarap tanah, mereka harus memiliki itu, karena dari situ, segala yang dibutuhkan untuk makan dan minum bisa diatur oleh mereka kembali. (ADI)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *