Peringati HIMAS, AMAN Gelar Diskusi Perhutanan Sosial di Maluku Utara

Saat diskusi di rumah AMAN Malut.

 

Ternate – Salah satu tantangan kita di Maluku Utara dalam program Perhutanan sosial yaitu masih minimnya kesadaran politik ekologis di tingkat pemerintah daerah “Kebijakan yang berpihak ke persoalan ekologisnya masih jauh, terutama melindungi hak-hak rakyat dalam pengelolaan kawasan hutan” Ucap Muh. Arba’in Mahmud, dari Balai Pengeloaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Ake Kolano, yang ditunjuk sebagai pemantik diskusi di Rumah AMAN Maluku Utara, (16/08/2017).

Diskusi yang mengangkat tema “Peluang dan Tantangan Implementasi Perhutanan Sosial di Maluku Utara” dihadiri oleh perwakilan LSM, Media dan Organisasi Kemahasiswaan, sebagai rangkaian dari pelaksanaan Hari Internasional Masyarakat Adat Se-Dunia (HIMAS).

Skema perhutanan sosial kata Arbain, di bagi dalam beberapa bagian terdiri dari Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan.  Target perhutanan sosial ini merupakan komitmen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang tercantum dalam RPJMN 2015-2019 sebagai implementasi dari visi-misi Jokowi-JK dalam Nawacita yaitu  mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Target yang ditetapkan sampai tahun 2019, hutan yang diserahkan kepada masyarakat seluas 12,7 juta hektar. Di Maluku Utara sendiri, luas kawasan hutan yang ditetapkan dalam skema perhutanan sosial seluas 68.469 hektar, yang tersebar di semua Kabupaten/Kota.

Persepsi orang tentang hutan adalah kayu menurut Arbain sangat keliru, karena ada unsur kemanusiaan yang menjadi bagian dari ekosistem hutan tersebut. Selama ini masyarakat adat itu sudah menjaga alam terutama hutan. Semestinya program perhutanan sosial ini melindungi hak mereka.

“Perhutanan sosial ini salah satu cara supaya ekologi itu bisa dijaga” kata beliau.

Banyak tantangan dalam pelaksanaan perhutanan sosial di Maluku Utara,  terutama traumatik sosial  masa lalu yang berimplikasi pada pengelolaan kawasan hutan dan tantangan dari luar dengan hadirnya izin – izin tambang dan izin lainnya.

Arbain mengingatkan bahwa spiritualitas masyarakat adat dalam bentuk kearifan lokal tersebut bisa menjadi modal penting untuk menjaga kelestarian hutan Maluku Utara. “Saya sebut sebagai ekoteologi dalam buku yang saya tulis”.

Hal serupa juga di respon Ismet Soleman, dari Walhi Maluku Utara. Perhutanan sosial ini hanya sebagai alat agar masyarakat kembali mendapat hak atas ruang hidup mereka.

“Tapi kalau kita berfikir dengan akal sehat dengan pake logika, skema ini sebenarnya omong kosong” Kata Ismet.

Nilai-nilai lokal masyarakat adat dan tempatan di Maluku Utara sudah tercerabut. Ada desain global untuk menghancurkan masyarakat Maluku Utara, lihat saja izin yang masuk.  “Masyarakat kita sebenarnya tidak salah dengan fakta hari ini mereka jual – jual tanah, ini terjadi karena desain global yang memaksa mereka tidak punya pilihan” kata beliau.

Lebih lanjut ia mengatakan, sistim pengelolaan alam itu dengan cara komunal. Masyarakat kita sudah memberlakukan jauh sebelum negara ini ada. Ini yang terus melakat sampai sekarang dalam pemanfaatan ruang hidup.

Hutan menurut beliau tidak bisa dipahami terdiri dari pohon yang berdiri tegak saja, tetapi ada makna tersendiri dalam nilai kearifan lokal. Sehingga  kehancuran hutan itu adalah kehancuran atas nilai”. Ucap Ismed.

Respon yang sama dari Hamdan Soleman aktivis Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Kota Ternate, bahwa perhutanan sosial belum mencuat di mata publik, terutama kalangan mahasiswa.

“Ini pengalaman baru bagi saya untuk mengetahui tentang konsep skema perhutanan sosial di Maluku Utara” tutup beliau. (ADI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *