Merespon Kebijakan Menteri LHK, AMAN Malut Konsolidasi Percepatan Implementasi Perhutanan Sosial

Sesi Foto bersama peserta Lokakarya Perhutanan Sosial di Maluku Utara. (Dok AMAN)

Ternate- Pemerintah mulai memberikan akses kesejahteraan masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial dengan skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Kemitraan Kehutanan dan Hutan Adat (HA). Program Perhutanan Sosial sebagaimana ditetapkan Presiden Jokowi sampai tahun 2019 mencapai 12,7 hektar. Dalam Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS), 68.469 hektar di Maluku Utara.

Menilai adanya peluang ini, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut AMAN bekerjasama dengan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Maluku – Papua, Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) dan Critical Ecosystem Patnership Fund (CEPF) menyelenggarkan Lokakarya dengan tema “Mendorong Perhutanan Sosial di Maluku Utara untuk Memperluas Akses Sumberdaya Hutan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat,” bertempat di Hotel Grand Majang – Ternate, Senin, (28/8/2017).

Hadir para pihak perwakilan masyarakat adat, LSM, Perguruan Tinggi, Bappeda Se-Kabupaten/Kota, Dinas Kehutanan Provinsi Malut, serta intansi pemerintah yang bersentuhan langsung dengan kehutanan.

Melalui sambutannya, Ketua AMAN Maluku Utara Munadi Kilkoda kehadiran para pihak dalam acara ini menjadi titik awal percepatan implementasi perhutanan sosial. “Saya harap kita sama-sama merumuskan road maap perhutanan sosial  di Maluku Utara untuk merespon 68 ribu itu,” kata beliau.

Lanjut Munadi AMAN menyambut baik program Perhutanan Sosial ini dan telah menyiapkan beberapa wilayah adat yang sudah dipetakan untuk dapat merespon Hutan Adat. Namun Munadi juga berharap adanya dukungan nyata dari pemerintah daerah dengan mempercepat perumusan Peraturan Daerah (Perda) Hak – Hak Masyarakat Adat.

Kegiatan yang dibuka oleh Kepala Dinas Kehutanan Provinsi H. M. Sukur Lila M.Si. lewat sambutannya mengatakan perhutanan sosial ini model untuk membuka partisipasi masyarakat desa dalam pengelolalaan hutan sebagai alternatif strategis dalam menangani berbagai macam persoalan kehutanan seperti konflik tenurial, kerusakan hutan, keamanan hutan, kemiskinan dan berbagai problem lingkungan lainnya. Katanya.

“Program ini menitip beratkan pada gagasan pemberian hak akses masyarakat terhadap sember daya hutan yang ada sekitarnya. Sehingga semangat perhutanan sosial ialah memunculkan keadilan sosial bagi masyarakat yang hidup di perhutanan sambil menjaga kelestarian sumber daya alam,” kata Sukur

Pada kesempatan yang sama Ir. Sahala Simanjuntak, M.Si, Kepala PSKL Maluku – Papua, mengatakan, dulu Perhutanan Sosial dibawa Dirjen BPDAS, namun setelah dibentuk Dirjen PSKL, Perhutanan Sosial dipindahkan ke Dirjen terkait.

Untuk Maluku Utara, kata beliau, sudah ada 14 kelompok Perhutanan Sosial, dominan di Ternate yang mendorong HD dan HKm. Sementara di Kabupaten lain ada HD dan HTR. Sahala juga menyampaikan skema Hutan Adat belum di implementasikan karena belum ada Perda – Perda yang dibikin pemerintah daerah. “kalau sudah ada Perda, hutan adat sudah dapat di dorong,” kata beliau.

Sambil menunggu Perda, Kepala PSKL ini menyarankan supaya masyarakat dapat mengakses skema lain yang sudah tersedia. Beliau menyadari implementasi program ini belum seberapa, sehingga PSKL harus memikirkan strategi lain.

“Nanti saya dan tim akan ke desa-desa lengkap dengan alat langsung mengerjakan perhutanan sosial ini di desa. Ini sudah kami lakukan di Maluku,” pungkas Sahala.

Senada dengan Sahala, Andri Santosa Sekjen FKKM menjelaskan secara bahwa tujuan Perhutanan Sosial ini sungguh sesuai yang diharapkan terwujud karena untuk menyelesaikan permasalahan tenurial, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan fungsi hutan.

Beliau menyeruhkan kepada masyarakat adat silahkan pengajukan permohonan Hutan Hak untuk ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Hak kepada Menteri LHK dengan syarat, telah diakui keberadaannya oleh Pemerintah Daerah dengan produk hukum daerah sehingga masyarakat adat yang wilayahnya berada dalam kawasan hutan harus ditetapkan dengan Perda, sedangkan masyarakat adat yang wilayahnya di dalam APL bisa dengan SK Bupati.

Beberapa point disepakati, baik percepatan pemetaan wilayah adat, implementasi skema perhutanan sosial serta mendorong adanya singkronisasi perhutanan sosial melalui RTRW Kab/Kota.

“Sekembali dari sini saya akan bicarakan dengan Bappeda Halteng supaya memasukan PIAPS dalam revisi RTRW” ungkap Yunus, staf Bappeda Halteng. (Adi).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *