Ketemu Taman Nasional, AMAN Dorong Skema Hutan Adat untuk Atasi Konflik dengan Masyarakat Adat Kobe

 

Sofifi – Sengketa tata batas Taman Nasional Blok Aketajawe dengan masyarakat adat Kobe sudah berlangsung sejak tahun 2003. Hingga saat ini sengketa tersebut belum terselesaikan. Hal tersebut mendorong perlu diselesaikan dengan memperjelas hak masyarakat adat Kobe terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 tentang Hutan Adat membuka ruang penyelesaian masalah tersebut. Memandang hal tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara bekerjasama dengan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dan Burung Indonesia, mendorong proses pendampingan pada masyarakat adat Kobe melalui pemetaan wilayah adat.

Dalam pertemuan antara AMAN dengan Balai Taman Nasional (TN) Aketajawe-Lolobata yang digelar di Kantor TN Sofifi, Rabu (17/10/2018), disampaikan luasan keseluruhan serta yang tumpang tindih antara wilayah adat Kobe dengan Taman Nasional Blok Aketajawe.

“Dari peta yang dilakukan masyarakat adat Kobe, luas wilayah adat mencapai 23.950 hektar. Sementara yang overlay dengan Taman Nasional khusus blok Aketajawe 14.738 hektar,” kata Adlun Fiqri, Kepala UKP3 AMAN Malut.

Lanjut Adlun, bahwa peta tersebut masih akan di verifikasi dengan masyarakat adat Lelilef dan Weda, setelah itu baru dapat di finalisasi. “Verifikasi ini sudah dilakukan, cuma belum representasi karena sebagian belum hadir, jadi akan di verifikasi lagi”

Sementara Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara menyampaikan sesuai pembicaraan sebelumnya dengan berbagai pihak termasuk Taman Nasional, wilayah adat Kobe ini akan di dorong skema hutan adat, sekaligus kemitraan konservasi masyarakat adat.

“Kami memandang ini jalan masuk untuk menyelesaikan konflik tata batas wilayah adat dengan Taman Nasional” kata Munadi.

Selain itu beliau meminta respon pihak Taman Nasional terhadap luas wilayah adat yang tumpang tindih dengan Taman Nasional.

Hal tersebut direspon Lilian Komaling S.Hut, dari pihak Taman Nasional, menyebut bahwa ada perubahan dalam model pengelolaan Taman Nasional saat ini. Masyarakat sudah dilibatkan langsung. “Beda dulu masyarakat jadi objek, tapi sekarang mereka juga subjek dalam pengelolaan Taman Nasional”

Pendekatan ini menurut beliau, sudah dilakukan sejak tahun 2017 di beberapa desa yakni Pintatu, Tomares, Kobe dan Sawai Itepo. Langkah ini dilakukan untuk memberikan pemahaman masyarakat terkait dengan manfaat keberadaan Taman Nasional.

“Sehingga mereka tidak memandang Taman Nasional secara negative” kata beliau.

Hal serupa juga disampaikan Raduan, SH, Kepala Unit TN Wilayah Weda, pada intinya beliau memberikan apresiasi atas upaya yang dilakukan AMAN dan masyarakat adat Kobe. Bagi beliau tetap mereka menghargai putusan MK 35 yang mengembalikan hutan kepada masyarakat adat. Putusan tersebut, kata beliau itu konstitusional. Namun masih ada proses yang dilakukan agar hutan adat tersebut dikembalikan.

Terhadap hasil pemetaan itu, beliau juga berharap masing-masing pihak harus saling kerjasama, “Intinya kami hargai apa yang dihasilkan oleh teman-teman AMAN, namun karena peta ini juga belum final, untuk itu kami juga berpatokan pada hukum yang mengatur Taman Nasional, sambil menunggu kepastian hukum terhadap wilayah adat Kobe” tutupnya.

Kedua belah pihak bersepakat untuk melakukan beberapa kegiatan dilapangan untuk memastikan Konflik tata batas tersebut dapat diselesaikan. (adi)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *