Percepatan Hutan Adat, Komunitas Adat Fritu Petakan Potensi Hutan Adat

Dalam rangka mempercepat pengusulan, pengakuan dan penetapan hutan adat Fritu yang sedang berproses di Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (DIRJEN PSKL) Kementrian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK ), masyarakat adat Fritu dengan antusias melakukan  pemetaan potensi hutan adat melalui fasilitasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara pada Senin,10 Desember 2018 di Pnu Fritu.

Pasalnya, Data Geospasial  (Peta Wilayah Adat) dan Data Sosial (Sejarah Asal Usul, Pranata  Hukum Adat, Potensi Ekonomi, Sosial Budaya,dan Kearifan Lokal) telah menjadi dokumen pengusulan percepatan dan penetapan hutan adat Fritu bersamaan dengan 18 wilayah adat di Maluku Utara yang tengah disulkan dalam program Perhutanan Sosial (PS) skema hutan adat beberapa waktu lalu . Karena itulah, Pemetaan potensi Hutan Adat Fritu dan pola pemfaatan serta pengolahannya akan menjadi rujukan verifikasi teknis penetapan nanti.  

Kegitan yang didukung oleh Dedicated Grant Mechanism (DGM) Indonesia, dihadiri masyarakat adat dan unsur pemerintah Desa Fritu. Masyarakat adat dibagi dalam 2 kelompok yakni kelompok yang memetakan Hasil Hutan Kayu (HHK) dan kelompok yang memetakan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) memetakkan potensi hutan adat diatas wilayah adatnya yang mencapai total 7. 769, 46 Ha berdasarkan peta indikatif wilayah adat Fritu yang  dibuat secara partisipatif.

Pun, Peta Penggunaan lahan Wilayah Adat Fritu terdiri dari Damar dan Gaharu seluas 1.920,44 Ha; Kampung Tua seluas 3.36 Ha; Kebun Campur Seluas 2.016,38 Ha; Kebun Kelapa seluas 94,64 Ha; Mangrove seluas 30,07 Ha;  Pala Hutan dan Gaharu seluas 3.675,74 Ha; Pasir seluas 3.34; Pemukiman seluas 15.02; dan Tambang seluas 10.47 Ha. Juga dibagi dalam zonasi  Lindung dan aktivitas produksi tradiosional.

Ketua AMAN Maluku Utara, Munadi Kilkoda, menyebut wilayah masyarakat adat Fritu memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah. “saya yakin, usai identifikasi dan pemetaan potensi hutan adat Fritu, akan ada banyak potensi yang menghidupi masyarakat adat Fritu selama ini dan yang akan datang, oleh karena hutan adat Fritu ini masih sangat kaya akan potensi hutannya”. Sebutnya.

Meski demikian, kata Munadi,  kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) sektor kehutanan tersebut  sudah empuk atau disesaki investasi industri ekstraktif. 5 Perusahaan pertambangan dan 1 Perusahan Kayu tumpang tindih merajai wilayah adat Fritu.

Lanjut Munadi, potensi hutan yang tak kalah menjanjijikan kesejahteraan dan keberlanjutan Masyarakat adat ini bakal disingkirkan oleh masifnya industri ektraktif perusak hutan dan menuai konflik tenurial berkepanjangan yang memiskinkan.

“Keterancaman itu menjadi nyata didepan mata dan mengakrabi masyarakat. Kemiskinan dan ketergantungan ekonomi adalah bom waktu” cetusnya.

Munadi menyerukan, Masyarakat adat Fritu tetaplah tegar dan bangkitlah yang kesekian kali mengorganisasi dirinya untuk mendapatkan kembali hak-haknya yang dirampas perusahaan dan pemerintah. Wujud kebangkitan itu menurut Munadi, adalah kemandirian ekonomi berbasis kearifan lokal yang saat ini dilakukan pemetaan potensi hutan adat.

Munadi menjelaskan, pemetaan ini, tak sekadar jalan menempuh  pengakuan hutan adat dari negara. Tetapi, jauh melampaui itu, ialah peta potensi hutan adat ini bakal menjadi rangkaian tindakan ekonomi tanding masyarakat adat  dari rezim investasi dan pembangunanisme yang mendalilkan kesejahteraan, tapi nyatanya memandang sebelah mata hajat hidup masyarakat kebanyakan dan menyuramkan masa depan masyarakat adat.

“Petakan potensi hutan adat, perkuat budaya menanam. Sebab, menanam adalah melawan. Dan itulah kita masyarakat adat” seru lelaki yang telah mendedikasikan tenaga dan pikirannya demi masyarakat adat yang berdaulat, berdikari dan bermartabat ini.

Selain itu, Munadi juga menyinggung, gencarnya KLHK  menargetkan realisasi 12,7 Juta dalam jangka 2015-2019 untuk percepatan PS yang terdiri dari Skema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (Hkm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Hutan Adat (HA) dan Kemitraan Kehutanan (KK), oleh negara acapkali tidak menunjukan konsistensinya terutama sekali dalam Skema Hutan Adat.

Dengan dalil yang tak konstitusional (masyarakat adat menghambat investasi dan perluasan infrastruktur) , segelintir pelaku negara menghambat pengenyaman hak –hak masyarakat adat yang sesungguhnya adalah konsekuensi konstitusionalitas penghormatan, pengakuan, perlindungan dan pemajuan masyarakat adat.  “Tidak disahkanya RUU Masyarakat Adat adalah salah satu indikasi gejala tersebut” sentilnya.

Lanjut Munadi, sebagaimana telah dialokasikan 2,25 juta Ha Hutan  Adat dari total 12,7 Juta Ha Perhutanan Sosial, semestinya, Pemerintahan Daerah Halmahera Tengah  pro aktif mengagregasi dan mengartikulasi pengalokasian hutan adat nasioanal tersebut melalui produk hukum (Perda/SK Bupati)   pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Halmahera Tengah sebagai syarat mutlak pengusulan dan penetapan hutan adat oleh KLHK.

Menurutnya, Negara telah menyediakan sistem pemanfaatan dan pengelolaan hutan lestari berkelanjutan untuk masyarakat di kawasan hutan/masyarakat adat guna meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya, Pemerintah patut meletakkan secara prioritas dan bersifat segera.  Sebab, tujuan utama dari PS ini adalah pemerataan dan pemberdayaan ekonomi Masyarakat, disamping penyelesaian konflik tenurial hutan adat.

“Oleh karena itu, sekali lagi, pemetaan potensi hutan adat ini menjadi bagian dari proses pemenuhan hak, pengakuan, perlindungan dan pemajuan masyarakat adat dengan mengarus-utamakan keadilan dan kemakmuran serta keberlanjutan lingkungan yang lestari ini, tidak hanya menjadi perjuangan masyarakat adat, tetapi pemerintahan disegala tingkatan sejatinya mengambil peran lebih utama” tutupnya.

Sementara Kepala Adat Fritu, Noya Kore, mengatakan pemetaan potensi hutan adat Fritu ini sangat penting bagi mereka. Selain sebagai dokument, ini menjadii pengetahuan baru yang harus disadari oleh masyarakat Fritu yang menurutnya belum menyadari kekayaan pemberian berkat rahmat Tuhan dan Warisan leluhur. Kelak menjadi kewajiban diwariskan kepada anak-cucu mendatang.

Noya Kore, Atas nama masyakat adat Fritu, dirinya mengharapkan persatuan, kesadaran dan keberpihakan semua pihak. Terutama pemerintah agar menjalin hubungan kerja mempertahankan ruang hidup dan kemakmuran demi kehidupan yang layak dan kebahagian yang wajar.

“Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa Selalu memberkati dan Leluhur masyarakat adat Merestui pejuangan kita. Amin” tutupnya. (Tim AMAN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *