Mengungkap Pemerintah Khas Haltim – Halteng

Tanpa dipungkiri, sejarah perkembangan pemerintahan Halmahera Timur (Haltim) dan Halmahera Tengah (Halteng) atau wilayah yang juga disebut Gamrange (Tiga Negeri: Maba, Patani/Gebe dan Weda), pun mengalami “hukum alam perubahan”.  Ini adalah sunnatulah pasti dialami sitiap sistem di bawah kolong langit ini; lahir, tumbuh dan berkembang, mencapai puncak kejayaan, kemudian secara berangsur-angsur bergerak ke arah kevakuman, keruntuhan, lalu mati, dan/atau berganti bentuk setelah melewati proses sejarah panjang dalam kurun waktu berabad-abad lamanya.

Secara historis, Pemerintahan Haltim-Halteng dari masa ke masa dapat di identifikasi dalam tiga bentuk, yakni masa pemerintahan tradisional, masa penetrasi pemerintahan kolonial, dan masa pemerintahan era Indonesia merdeka. Pada tulisan ini,Penulis fokus  pada masa pemerintahan tradisional, terutama sistem pemerintahan khas (politik identitas) Haltim-Halteng yang belum banyak diungkap secara tertulis.

Suku bangsa Gamrange (Maba, Patani dan Weda), bila ditinjau dari  aspek linguistik (bahasa daerah) dikategorikan rumpun bangsa Austronesia (Proto-Austronesia) sama seperti Suku Makean-Kayoa, Bacan, Gane, Seram,  Melayu, Jawa, Bugis, dan suku bangsa lainnya di Nusantara yang bahasa aslinnya rumpun bahasa Melayu-Austronesia (R.Z.Leirissa, 1996). Bangsa Austronesia (Proto-Austronesia) adalah suku bangsa yang datang dari lembah-lembah sungai di Cina Selatan kemudian bermigrasi sampai juga di Nusantara, yakni Sulawesi Utara, Halmahera dan Maluku Selatan dengan membawa kebudayaan maritim (Kontjaraningrat, 1999).

Karena itu, sebagai daerah berperadaban tertua di Pulau Halmahera dengan kategori rumpun bangsa Austronesia, suku bangsa Maba, Patani dan Weda juga ternyata memiliki sistem pemerintahan tradisional yang khas.

Sistem pemerintahan tradisional Haltim- Halteng (Gamrange) dapat dibagi  dalam 3 (tiga) fase,  yaitu: 1) Fase Pemerintahan Momole (Monwele),   2)  Fase Pemerintahan Rajaman, dan 3) Fase Pemerintahan Bobato. Setiap fase pemerintahan tradisional tersebut memiliki bentuk dan perkembangan sejarah dan peradaban tersendiri.

Fase Pemerintahan Momole

Zaman Momole adalah suatu zaman dimana suku bangsa Maba, Patani dan Weda dikisahkan belum mengenal agama tetapi perilaku warganya sudah mencermikan nilai-nilai keagamaan, dan sudah hidup berkelompok (paguyuban/klan) yang dipimpin oleh seorang kepala suku, sehingga praktis terdapat semacam bentuk pemerintahan yang dalam tulisan ini disebut fase Pemerintahan Momole.

Pemerintahan Momole adalah suatu bentuk sistem pemerintahan asli (khas) Gamrange yang baik bentuk dan susunannya sangat sederhana dan berakar pada struktur sosial berdasarkan pada geneologis dan keperkasaan (power). Tidak memiliki struktur pemerintahan di level atas maupun di bawahnya, tetapi Momole langsung Rakyat, sehingga merupakan suatu struktur unit pemerintahan tunggal yang berdaulat penuh di sebuah unit pemukiman  tunggal yang disebut pnu momole (negeri momole), dan  “Momole” sebagai pemimpin kelompoknya sedangkan Balarekawasa sebagai rakyat (warganya). Pemerintahan Momole diperkirakan eksis sampai tahun 1200-an Masehi.

Kata “momole”, secera etimologi mungkin berasal dari bahasa Gamrange yaitu dari kata mon-wele. Mon yang berarti laki-laki  dan wele yang berarti perkasa, sehingga monwele yang kemudian berubah pengucapan menjadi momole adalah berarti  pemimpin perkasa untuk warga dan alam sekitarnya.

Pemimpin  pada saat itu disebut monwele (monrewele) atau momole karena pada saat itu siapa yang kuat dan perkasa untuk melindungi warganya maka dialah yang jadi pemimpin (momole), praktis sistem pengangkatan pemimpin lewat adu kesaktian dan hukum alam yang berlaku (ius-naturalis), bukan sistem monarkhi.

Para Momole yang terungkap menonjol dalam cerita lisan turun temurun dalam masyarakat Haltim/Halteng, diantaranya; Momole Mancabo dan Momole Kasturi Bisa di Bicoli, Momole Ian Toa di Buli, Momole Madalamo di Wayamli, Momole Gisbayo di Maba/Maba Pura, Momole Lol Slowon di Gotowasi, Momole Lolos Kabil di Waci, Momole Gowonle dan Momole Tutuli di Patani, Momole Sawai di Weda, serta Momole Mumu Gwomaney yang cerita rakyatnya masih eksis sampai saat ini.

Julukan Momole bagi pemimpin, juga dikenal digunakan agak meluas untuk pemimpin komunitas masyarakat lainnya di Maluku Utara, seperti komunitas penduduk Hamahera yang eksodus ke Pulau Gapi/Ternate di tahun 1250-an dan membentuk kerajaan di sana, diantaranya unit pemukiman Tobona, Toyo, Tabanga dan Tubo, yang pemimpin paguyubannya disebut juga Momole (Abdul Hamid Hasan, 2000)

Fase Pemerintahan Rajaman    

Seiring dengan perkembangan zaman, sistem Pemerintahan asli Gamrange berubah dari Pemerintahan Momole ke suatu perkembangan dimana Haltim-Halteng (Gamrange) telah mencapai peradaban organisasi kerajaan yang raja-rajanya dijuluki dengan kata depan “raja-man”, sebutan yang kemudian digunakan disini sebagai identitas dalam periodisasi fase pemerintahan ini. Suatu bentuk sistem pemerintahan asli, seperti layaknya suatu kerajaan kecil yang diperkirakan eksis di atas tahun 1200-an atau sebelum adanya infiltrasi pengaruh kerajaan di Kie Raha (Tidore).

Adanya istilah-istilah dan kalimat (kosa kata) terkait pemerintahan asli dalam bahasa daerah (lingusitic) yang sampai kini masih dijumpai dalam tradisi lisan masyarakat Gamrange adalah salah satu bukti yang dapat menjadi petunjuk mengungkap adanya eksistensi bentuk Pemerintahan Rajaman pada  masa lalu di wilayah Gamrange. 

Bentuk, susunan dan sistem pemerintahan pada fase ini terbilang juga masih sangat sederhana. Pada fase Pemerintahan Rajaman suku bangsa Maba, Patani, dan Weda telah mengenal agama dan telah berinteraksi dengan dunia luar atau bangsa lain. 

Kalau pada fase pemerintahan momole hanya terdapat unit pemukiman tunggal yang disebut “Pnu Momole”, tetapi di fase Pemerintahan Rajaman dari mencermati kosa kata bahasa daerah yang ada dapat diketahui ada istilah nama-nama unit pemukiman lebih dari satu, dan teridentifikasi terdapat 3 (tiga) tingkatan unit pemukiman dalam struktur Pemerintahan Rajaman, yaitu Gelet, Pnu dan Pnuregelet.

Gelet adalah sebutan nama untuk unit pemukiman paling bawah setingkat dusun/kompleks yang didiami satu marga/paguyuban dalam suatu perkampungan/Pnu. Kemudian Pnu sebutan nama untuk unit pemukiman setingkat desa yang di dalamnya terdapat beberapa Gelet, dan  Pnuregelet sebutan nama untuk unit pemukiman teratas setingkat wilayah kerajaan yang di dalamnya terdapat beberapa Pnu dan Gelet.

Dari adanya sistem pemerintahan tradisional asli (politik identitas) Gamrange tersebut, terungkap terdapat 3 (tiga) kerajaan kecil atau Pnuregelet yang sempat eksis di wilayah itu pada masa lampau, yaitu: 1. Pnuregelet Mobon (Kerajaan Maba); 2. Pnuregelet Poton (Kerajaan Patani); 3. Pnuregelet Were (Kerajaan Weda).

Istilah pemerintahan dan/atu nama-nama jabatan yang diketahui, yaitu istilah Ngoson yang sinonim dengan kata Pemerintah/Bobato, istilah Wulon sebutan untuk pemimpin Pnu (desa), Istilah Rajaman untuk pemimpin (raja) Pnuregelet, istilah Angan sebutan untuk ratu/permaisuri. Istilah Balarekawasa sebutan untuk rakyat/masyarakat.

Salah satu sumber yang memperkuat sinyalemen adanya politik identitas kerajaan-kerajaan di Haltim dan Halteng pada masa lampau adalah diantaranya merujuk pada tradisi lisan- tutur sejarah tentang adannya tiga orang bersaudara sesuai asal-usul  merupakan raja-raja satu turunan geonologis (kakak-beradik), dan masing-masing menjadi raja yang mampu menyatukan beberapa unit pemukiman Gelet dan Pnu (desa) di setiap Pnuregelet (kerajaan) Mobon, Poton dan Were.

Yaitu, raja-raja yang karena pada masa itu telah berinteraksi dengan dunia luar, sehingga oleh raja-raja Melayu/Jawa memberi gelar-sebutan  dengan menggunakan kata depan rajaman, suatu kata yang juga berakhiran “man”. Kata akhiran man sendiri diketahui umumnya dilekatkan pada gelar yang biasa digunakan pada zaman Hindu-Budha yang lazim dipakai oleh Raja-raja di India Selatan, daratan Asia Tenggara (diantaranya Cahmpa dan Khmer), dan termasuk di Nusantara (diantaranya Sriwijaya, Melayu dan Majapahit). Gelar man diperkirakan berasal dari akhiran varman dari bahasa Sanskerta yang berarti penangkis senjata/kekuatan musuh (Sartono Kartodirdjo, 1975)

Sebutan/gelar terhadap raja-raja yang memerintah di ketiga kerajaan  tersebut, untuk Raja Mobon (Maba) diberi gelar Rajaman Kasatrio yang mendapat bentuk akhir penyebutan menjadi Rajaman Kasturi yang diartikan Raja yang satria/perkasa, Raja Poton (Patani) bergelar Rajaman Kasuro yang diartikan raja yang suka ke surou/mesjid (raja alim-ulama), Raja Were (Weda) bergelar Rajaman Suta Raja Mao Raja yang diartikan raja cerdik-pandai berdiplomasi dan berkemuan keras.

Sedangkan kata Mobon, Poton dan Were bersal dari bahasa pribumi tiga negeri, yaitu kata Mobon berasal dari kata Wobon yang artinya anak sulung (Raja Maba), Poton berasal dari kata Foton yang artinya anak tersayang (Raja Patani), dan Were berasal dari kata Wereng yang artinya anak polos belia/anak bungsu (Raja Weda). 

Para tokoh pemimpin yang kemungkinan hidup di zaman Rajaman yang terungkap dalam cerita lisan diantaranya; Farasman, Sumbel dan Buwtanga di Maba/Bicoli, Samardan di Patani,  dan Cekel di Weda.

Fase Pemerintahan Bobato

Akibat pengaruh dan hegemoni dari pemerintahan kerajaan-kerajaan besar yang berkembang di Kie Raha (Jailolo,Ternate,Tidore, dan Bacan), sehingga Sistem Pemerintahan asli Gamrange terinfiltrasi menjadi bagian sistem pemerintahan kerajaan di Kie Raha (terutama Tidore). Baik bentuk dan sebutan atau istilah-istilah struktur pemerintahan kemudian mengikuti yang ada di Kerajaan Tidore, yaitu Pemerintahan zaman Kolano dan Pemerintahan Kolano/Sultan. Pemerintahan kerajaan Mobon, Poton dan Were yang kemudian disebut Bobato yang terdiri dari Sangaji, Kapita, Kapita Lao, Kade/Kadim, Modim, Imam, Khotibi. Hukum, Gimalaha/Famanyira dan lain-lain.

Nama asli unit pemukiman dan jabatan pada fase pemerintahan rajaman juga ada yang dikonversi (beralih) mengikuti nama/istilah unit pemukiman Kerajaan Tidore, seperti antara lain; sebutan Pnu diganti dengan sebutan “Soa”, sebutan Pnuregelet menjadi disebut Gam. Pejabat Wulon diganti dengan sebutan Gimalaha/Famanyira, Rajaman diganti dengan sebutan Sangaji, kata Ngoson diganti dengan sebutan Bobato (Pemerintah).  Meski istilah-istilah pemerintahan Kerjaan Tidore telah resmi digunakan di Gamrange tetapi istilah-istilah pemerintahan asli Gamranege juga kerap dugunakan masyarakat dalam tutur bahasa daerah sehingga tidak hilang sampai saat ini. 

Pada fase pemerintahan Bobato, oleh S.Karim, seorang bangsawan Tidore yang sebelum Indonesia merdeka, pada hari Jumat 1 Maret 1938, mencatat susunan pihak besar atau strukutur pemerintahan (bobato) di Haltim-Halteng di bawah pemerintahan Kerajaan Tidore, terdapat 6 (enam) Sangaji (Gubernuran), yaitu Sangaji Maba, Sangaji Patani, Sangaji Weda, Sangaji Bicoli, Sangaji Samola dan Sangaji Kacepi/Gebe.

Bobato Maba terdiri atas Sangaji, Kapita Lao, Kapita (angkatan darat), Kadim,  Imam, Modim, Khotibi dan memiliki 9 (sembilan) gimalaha, yaitu: Gimalaha Maba, Gimalaha Gotowasi, Gimalaha Buli, Gimalaha Waci, Gimalaha Laipo, Gimalaha Loleolamo, Gimalaha Peteley, Gimalaha Lolobata, dan Gimalaha Lililef. 

Struktur Bobato Bicoli, terdiri atas Sangaji, Kapita Lao yang dijabat oleh Kapita  Wayamli, Kapita Angkatan Darat yang dijabat oleh Kapita Ingli-Bicoli, juga terdapat jabatan yang disebut Hukum, Kade/Kadim, dan Sowohi. Selain struktur di tingkat wilayah atau negeri, juga terdapat struktur di tingkat Soa/Gimalaha yaitu; Famanyira, sebagai kepala soa/gimalaha, dan terdapat  Imam, Modim dan Khotibi sebagai pejabat fungsional urusan keagamaan Islam (bobato akhirat). 

 Sementara itu struktur Bobato Patani yang dikenal sebagai negeri relijius (alim) adalah terdiri dari Sangaji, Kapita Lao, Kapita, dan Kade. Juga terdapat 10 (sepuluh) Gimalaha, yaitu:  Gimalaha  Kipai,  Gimalaha Tepeleo, Gimalaha Wailegi, Gimalaha Kililing, Gimalaha Umrat, Gimalaha Tutuli, Gimalaha Gemia, Gimalaha Mopatani, Gimalaha Banemo, Gimalaha Gamsonyoli. Massing-masing gimalaha tesebut memiliki Imam, Modim dan Khotobi.

Untuk Bobato Negeri Weda dan Samola, secara formal masing-masing pihak terdapat Kapita Lao, Kapita (angkatan darat), Kadim, Imam, Modim, Khotibi  dan dalam struktur Kesangajian Weda dan Samola terdapat 11 (sebelas) gimalaha yakni: Gimalaha Soa Cina,  Gimalaha  Samola,  Gimalaha Kobe, Gimalaha Sagea, Gimalaha  Wale, Gimalaha Wastoro, Gimalaha Tadi, Gimalaha Mesa, Gimalaha Sawai, Gimalaha Wayabulen, dan Gimalaha Dote.  

Sedangkan untuk Kacepi/Gebe memiliki  Bobato, antara lain: Sangaji Kacepi, Gimalaha  Sanafi, Gimalaha Umpain, Gimalaha Umira,  Gimalaha Umdio, Sowohi Umyal, Ngofamangira Umyal.    Pada fase Pemerintahan Bobato ini, 6  (enam) wilayah kesangajian di Haltim-Halteng juga terhimpun dalam suatu forum atau struktur bersama (kolektifitas) Tiga Negeri (Maba, Patani, Weda) dan Gebe yang  disebut “Bobato Gamrange” (penguasa di tiga negeri) atau yang oleh S. Karim, disebut Kedudukan Pihak Besar Tiga Negeri dan Gebe.  Institusi forum bersama ini tampaknya  dilembagakan dalam satu sturktur adat  yang disebut “Kadato Tiga Negeri” sesuai pengaturan tingkat otonomi sebagai bagian dari struktur adat Kerajaan Tidore (S.Karim, 1938).

Kedudukan  Pihak Besar  Dalam Kadato Tiga Negeri dan Gebe terdiri dari 6 (enam) Sangaji dan 20 Gimalaha. Enam Sangaji tersebut, yaitu : Sangaji Maba, Sangaji Patani, Sangaji Weda, Sangaji  Bicoli, Sangaji Samola, Sangaji Kacepi/Gebe. Adapun 20 Gemilaha, yaitu : Gimalaha Maba, Gimalaha  Kipau, Gimalaha Soa Cina, Gimalaha Sanafi, Gimalaha Wayamli, Gimalaha  Semola,  Gimalaha  Ingli, Gimalaha Tepeleo, Gimalaha Kobe, Kimalaha Umpain, Gimalaha Samafu / Smowo, Gimalaha Waile, Gimalaha    Sagea, Gimalaha Umera, Gimalaha Gotowasi, Gimalaha Totuli, Gimalaha Wale, Gimalaha Omdio, Gimalaha  Buli, Gimalaha  Gemia.

Sedangkan Gimalaha di dalam Kadato Tiga Negeri dan Gebe terdiri 9 Gimalaha yaitu : Gimalaha     Waci, Gimalaha Mopatani, Gimalaha Sawai, Gimalaha Wayabuli, Gimalaha Dote, Gimalaha Mesa, Gimalaha   Laipo, Gimalaha Banemo, Gimalaha Umyal.    

Eksistensi kepemimpinan kolektif  Pihak Besar ini tidak menghilangkan fungsi dan eksistensi tiap- tiap Sangaji. Sehingga di satu sisi Sangaji adalah anggota forum/struktur bersama tersebut, di sisi lain tetap berkuasa penuh pada wilayahnya dan tidak mencampuri urusan dalam wilayah Sangaji lain, terkecuali mungkin atas persetujuan dalam rapat kepemimpinan kolektif atau lewat persetujuan Kolano/Sultan.

Kolektifitas Pihak Besar Tiga Negeri tersebut sesungguhnya menggambarkan suatu pengelompokan berdasarkan etnogeografis enam Sangaji  ke dalam tiga pihak besar (six in three) atau yang disebut tiga negeri. Sehingga pengelompokan ke-enam sangaji ke dalam tiga sub suku bangsa (six in three) tersebut pada masa lalu disebut Gamrange (tiga negeri), di mana setiap dua sangaji bergandengan menjadi satu kekuatan, yaitu  Sangaji  Maba  kul – kul  Sangaji Bicoli, Sangaji  Patani kul – kul  Sangaji Kacepi, Sangaji  Weda kul – kul  Sangaji  Samola,  serta Sangaji  Gebe kul – kul  Kolano Ngaruha. . Pengelompokan ini berdasarkan pada realitas sebelumnya bahwa di Haltim-Halteng adalah kawasan yang semula terdapat tiga kerajaan/pemerintahan asli : Mobon (Maba), Poton (Patani) dan Were (Weda).

Kerajaan kecil Mobon (Maba), Poton (Patani) dan Were (Weda) menjadi bagian dari kerajaan Tidore, diperkirakan di  awal abad ke-17 (1600-an), yaitu ketika kerajaan Jailolo lenyap akibat dianeksasi Ternate dan VOC, (Valentijn, Jilid Ia, 1734, Leirissa 1996). Diketahui penggabungan Maba, Patani dan Weda ke Kerajaan Torle (Tidore) adalah pilihan integrasi bukan daerah taklukan sehingga lebih tepat disebut daerah adat Kerajaan Tidore. Karena berdasarkan pilihan integrasi, sehingga Bobato/Sangaji di Gamrange memiliki semacam status istimewa dan/atau “hak veto” terhadap  legitimasi penobatan Sultan Tidore, yaitu meskipun prosesi pengangkatan/pemilihan Sultan Tidore tidak melibatkan Sangaji/Bobato di Gamrange, tetapi Pelantikan/penobatan Sultan Tidore harus dihadiri oleh Sangaji di Gamrange baru dianggap sah/legitimeit. 

Ketika kolonial Belanda dan Jepang masuk di Wilayah Gamrange, sistem pemeritahan kedua bangsa penjajah tersebut juga diberlakukan di sana. Sejak Tahun 1822 sampai terakhir tahun 1942 Belanda menempatkan pejabatnya setingkat Asisten Residen (Afdeeling) dan membangun Pos Militer (Gecommitteerde) di Bicoli dengan wilayah kerja Maba, Patani, Weda (Gamrange).  Pejabat Militer Belanda pertama yang bertugas di Pos Militer Belanda di Bicoli adalah Cambier, (R.Z.Leirissa), sedangkan pejabat militer yang terakhir di tempatkan di Bicoli sampai tahun 1942 adalah Laurens. Pada Tahun 1942 Jepang mengambil alih Pos Militer tersebut.

Sampai pada tahapan ini, bukan berarti sejarah Pemerintahan Tradisional (khas) Haltim-Halteng telah diungkap secara komprehensif. Dari sekilas gambaran tentang sistem pemerintahan khas Gamrenge dalam tulisan ini, disadari belum sepenuhnya terungkap secara lengkap, tetapi paling tidak sebagai  gambaran awal menginspirasi kita, terutama kaum pemerhati sejarah dan pemerintah daerah untuk kiranya melakukan penelitian dan penelahan lebih lanjut yang mendalam dan komprehensif, karena sejerah sistem pemerintahan Haltim-Halteng zaman dahulu belum terungkap sepenuhnya.(*)

Penulis: Deni Tjan, SH., M.Si. (Pemerhati Sejarah)

Sumber: https://liputanhalmahera.blogspot.com/2019/06/mengungkap-pemerintah-khas-haltim_13.html?m=1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *