(Catatan Lapangan Tim AMAN)
Ekspansi perkebunan sawit di Maluku Utara terus berlangsung masif. Setelah Gane dan Banemo, kali ini, tanaman rakus air ini akan masuk di ke kecamatan Wasile Selatan, Halmahera Timur, Maluku Utara. Wilayah yang menjadi sasaran pun adalah wilayah adat yang telah di kuasai masyarakat adat sejak republik ini belum merdeka. Adalah PT. Dede Gandasuling (DGS), yang berafiliasi dengan PT Api Metra Palma (Medco Group), salah satu perusahan perkebunan sawit terbesar di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung Bupati Halmahera Timur menerbitkan izin lokasi seluas 19.808 hektar sebagaimana surat Nomor: 188.45/147/525.26/2007.
Badan Pertanahan Nasional pun telah menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU), untuk tahap pertama dengan luas 7.797 hektar. Sementara 2.500 hektar dari luas HGU tersebut menjadi target pertama pada 2018 ini masuk dalam perencanaan land clearing. 5 desa, Loleba, Tanure, Yawal, Waijoi, dan Jikomoi dengan ribuan penduduk yang hidup di wilayah tersebut terancam kehilangan akses pada tanah dan hutan.
Perusahan baru diketahui masyarakat ketika hendak mengurus sertifikat tanah perkebunan di BPN. Pihak BPN berdalil sertifikat tersebut tidak bisa diterbitkan karena tumpang tindih dengan HGU perusahan. Sontak mengundang respon beragam dari masyarakat yang ada di 5 desa. Mereka merasa tidak dihormati oleh pemerintah daerah dan perusahan. Selama ini tidak pernah dilakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat terhadap rencana masuknya perusahan tersebut.
Demo pun dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk protes mereka terhadap rencana perkebunan sawit. Beberapa karyawan perusahan yang ada di lokasi di usir keluar dari Wasile. Sementara alat-alat berat yang akan dipergunakan untuk land clearing ditahan oleh warga.
Baca Juga: Pernyataan Sikap Solidaritas Masyarakat Halteng Tolak Sawit
Hari itu, Senin 03 September 2018, tim AMAN di pimpin Hamdan dan Yulia Pihang menempuh perjalanan menuju Jikomoi. Di lokasi mereka bertemu dengan kelompok massa aksi yang dipimpin langsung Jens Komo-Komo, Koordinator Front Masyarakat Wasile Menggugat (FMWM). Jens dalam orasi mengatakan kehadiran perusahan hanya merampas lahan perkebunan warga. “Ini penindasan yang dilakukan perusahan, sehingga masyarakat perlu bangkit untuk melakukan perlawanan” katanya.
Senada dengan sikap tolak diatas, salah satu tokoh adat Loleba, Dominggus Kariang (59) menyesal dengan sikap kepala desa yang sepihak mendukung perkebunan sawit. “Kalau saya hitung, hanya sekitar 10 kepala keluarga yang ikut terima kelapa sawit, itupun karena mereka keluarga dekat Kades dan mengaku pernah kerja di perkebunan sawit,” katanya.
Dominggus juga menyampaikan, masyarakat Wasile ini sudah lama mengolah tanaman kelapa, pala dan cengkeh untuk memenuhi kebutuhan hari-hari mereka, “Hasil kebun ini mereka bisa sekolahkan anak sampai ke jenjang yang lebih tinggi, maupun membangun rumah.”
Dominggus begitu khawatir jika semua yang mereka miliki tersebut digantikan dengan kelapa sawit. Tanaman tersebut tidak menjamin kelangsungan hidup mereka dan anak cucu kedepan. Bagi dia, jika tanaman kelapa diganti dengan sawit, di tengah jangka waktu penanam ke panen, mereka akan kerja apa. “kami menolak karena demi anak cucu jangan sampai mereka susah” tegasnya.
Wasile Selatan sendiri dikenal sebagai salah satu penghasil ikan teridaerah penghasil kelapa dalam, maupun tanaman pala dan cengkeh. Selain bekerja di sektor perkebunan, warga juga mengusahakan perikanan tangkap dengan menggunakan perahu “bagan” untuk menangkap ikan teri dan cumi. Produksi ikan teri di wilayah tersebut cukup tinggi mencapai 1,4 ton per 14 hari kerja, (Sumber: Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat, Nov. 2017).
Kerja bagan ini dilakukan kelompok laki-laki, nanti pengeringan dilakukan oleh kelompok perempuan. Setiap pagi hari kelompok perempuan ini berbondong-bondong mengeringkan ikan teri dan cumi hasil tangkapan suami mereka. “Ini kebiasaan yang setiap pagi dilakukan perempuan disini” kata beberapa perempuan yang ditemui pada saat sedang menjemur ikan teri.
Informasi yang di dapat, hampir rata-rata masyarakat yang ada di desa-desa ini memiliki profesi utama sebagai petani kebun dan nelayan tangkap. Biasanya jika sudah habis panen kelapa, mereka akan berganti profesi sebagai nelayan. Rotasi pekerjaan ini dilakukan untuk menjaga supaya mereka tetap memiliki pendapatan ekonomi. Daerah ini juga dikenal penghasil padi, data Pemkab Haltim 2018 menyebut 756 ton padi setiap tahun di produksi di wilayah ini, belum lagi 70 ton jagung, 119 ton ubi kayu (singkong), 1.180 ton kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai dan kacang hijau), 14,83 ton bawang merah, serta sayur-sayuran palawija serta buah-buahan.
Kehadiran perusahan ini kata kepala desa Loleba Amos Werimon dapat mengurangi pengangguran juga menurunkan angka kriminalitas yang terjadi di kampung. Kepala desa ini berdalil jangan sampai perusahan menuntut secara hukum kepada masyarakat karena dipaksakan cabut dari wilayah ini. “Saya terima perusahan ini supaya mensejahterakan masyarakat di kampung ini” kata beliau pada saat tim AMAN menemui di lapangan.
Sikap yang sama juga di tunjukan kades Yawal, Ferdinand, katanya sawit tidak punya dampak buruk terhadap lingkungan. Justru sawit lebih bagus dari kelapa dalam. “Saya dukung karena ada 20 persen lahan sawit di miliki masyarakat. Ini akan sejahterakan masyarakat”
Baca Juga: Tolak Sawit di Halmahera, dari Wabup sampai Anggota DPRD Tandatangani Dukungan
Pandangan yang berbeda justru datang dari kepala desa Tenure, Jikomoi dan Waijoi, mereka bersama-sama sepakat menolak kehadiran perusahan sawit ini karena keberadaannya mengancam hidup masyarakat. “Coba bayangkan HGU perusahan sampai di kebun dan kampung. Bagaimana kami mau berkebun dan bikin perluasan kampung, jika areal ini sudah jadi milik pihak lain” ungkap kades Tanure Apner Pulu.
Dirinya sangat menyesalkan PT. DGS yang tidak pernah melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat. Dia berharap kepada Pemerintah segera mengambil langkah-langkah solutif. Pemerintah terkesan melakukan pembiaraan terhadap masalah serius yang dihadapi oleh masyarakat Wasile Selatan.
“Pada prinsipnya, kami tetap menolak perkebunan sawit PT. DGS dan minta pemerintah memberi perhatian terhadap hasil perkebunan kami.” tegasnya.
Senada dengan itu kades Jikomoi, Septon Djojon pun mengatakan, pada tahun 2013, pernah ada dua kali sosilalisasi terkait masalah rencana perkebunan sawit oleh Medco Agro (Group perusahaan Sawit yang didalamnya juga terdapat PT. DGS ), namun masyarakat tetap bersih keras menolak. Sejauh ini, kata dia, PT. DGS belum pernah melakukan soslialisasi secara langsung kepada masyarakat. Bagi dia, apa yang dilakukan oleh PT. DGS adalah perampasan lahan serta menganggap remeh masyarakat yang punya kebun di wilayah tersebut. “Pemerintah secepatnya mencabut Izin HGU yang telah mencakup wilayah masyarakat tersebut, Jangan sampai ini menjadi konflik berkepanjangan” tegasnya.
Dari penelusuran yang dilakukan AMAN, perusahan ini selain melakukan kegiatan perkebunan sawit, juga memperoleh izin pemanfaatan kayu (IPK) yang dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2015. Perusahan ini juga pernah bekerjasama dengan CV. Bangkit Jaya Bersama untuk melakukan penebangan kayu diatas lahan konsesi kurang lebih 1.000 hektar milik PT DGS. Progress IPK ini pun dilaporkan setiap tahun. Dalam banyak kasus perkebunan sawit, kebanyakan HGU menjadi alat untuk pengambilan kayu di wilayah tersebut.
Hingga saat ini kondisi lapangan tidak stabil, masyarakat terus berjaga-jaga di pesisir pantai untuk menghadang pembongkaran alat berat perusahan PT DGS. Penjagaan ini dilakukan secara bergiliran pada 5 kampung yang menolak. Keterangan dari warga, alat-alat perusahan terpaksa di daratkan kecamatan Wasile, di Base Camp salah satu perusahaan tambang. (Hamdan)