Lewat Film, AMAN Kampanye Perjuangan Masyarakat Adat Patani Pertahankan Pala Dari Ancaman Sawit

Ternate – Komoditas lokal berupa pala dan cengkeh merupakan identitas masyarakat Patani di Halmahera Tengah. Rempah – rempah ini memiliki sejarahnya tersendiri di dunia, karena diincar oleh bangsawan Eropa pada masa era kolonialisme yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Bahkan pada masa itu, harganya lebih mahal dari kepingan emas. Tidas berbeda dengan hutan, bagi orang Tobelo Dalam, hutan merupakan identitas.

Itu yang tergambarkan pada permutara film “Patani” dan “O’Hongana Manyawa” sekaligus diskusi tentang Pala dan Hutan Halmahera. Kegiatan tersebut difasilitasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bekerjasama Mapasir Unkhair bertempat di aula UKM Unkhair (23/02/2016). Dua film ini memiliki cerita yang beda, “Patani” menceritakan perjuangan masyarakat adat Patani mempertahankan Pala dari ancaman perusahan sawit. Sementara film yang lain adalah “O’Hongana Manyawa” menceritakan kerusakan hutan adat Tobelo Dalam Dodaga tumpang tindih dengan kawasan Taman Nasional.

Dua film juga di bedah dalam diskusi dengan menghadirkan Munadi Kilkoda dari AMAN dan Rahmat Wali dari Akademisi UMMU.

“Film tersebut adalah lanskap Halmahera hari ini dimana ruang hidup masyarakat adat itu direbut oleh negara dan pemodal” kata Rahmat.

Lanjut Rahmat , kebudayaan masyarakat adat itu dirubah secara total lewat system ekonomi kapital. Misalnya dari masyarakat yang terbiasa berkebun lalu di dorong untuk bekerja sebagai buruh di perusahan atau tanahnya dikuasai dan dibiarkan hidup tanpa memiliki alat produksi.

Dia menggugat tanggungjawab mahasiswa. Menurut dia bahwa itu bukan masalah segelintir masyarakat adat seperti yang ada di dalam film, tapi itu merupakan masalah masyarakat Maluku Utara.

Hal yang sama juga dikatakan Munadi Kilkoda, bahwa film tersebut memberi pesan ke public bahwa ada satu hal yang salah dengan kebijakan pembangunan yang berorientasi pada industry ekstraktif. “Orang Patani Banemo dan Tobelo Dalam itu sementara memperjuangkan harga dirinya. Harga diri itu ada di pala dan hutan yang menghidupi mereka selama ini”

Munadi juga mengkritik kebijakan pemerintah yang hanya mendahulukan kepentingan pemodal dari pada kepentingan masyarakat adat. Dimana – mana masyarakat adat memperjuangkan tanah mereka yang dipaksa pemerintah untuk dijadikan pusat industry ektraktif. Kebijakan ini telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Munadi benar – benar menyayangkan jika hutan pala di Patani itu dibabat habis oleh sawit. Bagi dia itu sama halnya dengan membunuh masa depan masyarakat adat di situ yang bergantung dari pala.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *