WEDA – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara mengandeng Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) baru-baru ini menggelar pelatihan pemetaan partispatif tata ruang wilayah adat Fritu. Kegiatan tersebut berlangsung di kantor Desa Fritu, Kec. Weda Utara, Kab. Halmahera Tengah, (Rabu, 31/08/ 2016).
Dalam pertemuan tersebut, Sekretaris Desa (Sekdes) Fritu, Hion Hago, menyampaikan mereka sudah punya peta tapi ruangnya belum ada. “Hari ini kita akan bicarakan tata ruang wilayah adat Fritu bersama dengan AMAN dan JKPP”. Katannya.
Lebih lanjut menurut beliau masyarakat adat Fritu patut menjaga Sumber Daya Alam (SDA) terutama hasil hutan berupa Pala, Cengkeh, Agatis, Gaharu dan Damar. Sumberdaya ini akan menjadi penopang hidup kedepan.
Sementara dalam sambutannya Ketua AMAN Wilayah Munadi Kilkoda mengatakan, Fritu awalnya sudah melakukan pemetaan batas terluar, sementara tata ruang wilayah adatnya belum dibuat. Padahal itu menjadi alat perencanaan dan advokasi kebijakan.
“Dulu Fritu cuma 7 Kepala Keluarga, sekarang sudah mendekati 300 Kepala Keluarga. Setiap saat manusia di Fritu semakin bertambah, itu akan berkonsekuensi pada ruang yang ada saat, mulai dari ketersediaan sumberdaya alam dan tempat tinggal”.
“Kita sementara ini merancang masa depan kampung ini. Kedepan perluasan kampung itu sebelah mana, begitu juga dengan kebun dan hutan. Hutan harus tetap terjaga karena akan mensuport hidupnya orang Fritu”
Menurut Munadi, setau mereka Fritu merupakan satu-satunya komunitas masyarakat adat di Maluku Utara yang sudah melangkah sampai memiliki tata ruang. Ini juga oleh Munadi akan membantu pemerintah desa melaksanakan mandat UU Nomor 6 tahun 2014. “Artinya pemerintah desa tidak susah-susah lagi dengan RTRW Desa. Tinggal gunakan ini saja” terangnya.
Dalam proses fasilitator dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Rahmat Sulaiman menjelaskan perbandingan tata ruang yang dibikin Pemerintah dan yang dibikin masyarakat. Pemerintah dalam menata ruang, bisa saja menempatkan Fritu sebagai daerah hutan lebat. Penetapan tata ruang bisa salah sasaran. “Misalnya dalam penetapan hutan pemerintah menetapkan hutan produksi, hutan lindung pada kenyataannya semua yang di tetapkan itu salah sasaran”. Ucapnya.
Penetapan kawasan dan tata ruang desa harus berdasarkan kawasan tersebut, contohnya di belakan kampung ini ada lahan perkebunan masyarakat. Maka kita harus berfikir jangka panjang untuk anak cucu.
“Tata ruang desa juga harus berdasarkan kearifan lokal, karena tujuan dari tata ruang wilayah itu sebagai petunjuk orang dari luar”. Tambah Rahmat.
Masyarakat harus juga menjaga kawasan hutan resapan, hutan yang ada di sekitar sungai apakah layak atau tidak daerah resapan air itu di buka. Selain itu hutan Pala harus ditata, apakah bisa dibuka jadi perkebunan atau tidak. Tata ruang menurut dia sebagai identitas diri dan sumber informasi untuk mengembangkan kampung mereka kedepan.
Dalam pemetaan ruang wilayah adat Fritu itu, masyarakat membagi menjadi dua zonasi, yakni zones perlindungan dan zonasi pemanfaatan. Zonasi perlindungan meliputi sungai, hutan mangrove, pesisir dan laut, terumbu karang, hutan pala, agatis dan gaharu. Sementara zonasi pemanfaatan meliputi perkebunan, perluasan pemukinan serta peruntukan infrastruktur.
Program yang didanai oleh Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF) dan Burung Indonesia ini dalam rangka mendorong pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan Wallacea. Fritu sendiri merupakan salah satu kawasan prioritas karena berada dalam Key Biodiversity Area (KBA). Beragam jenis keanekaragaman hayati yang langkah dan has hidup di dalam wilayah adat mereka. Upaya perlindungan ini dilakukan dengan mendorong masyarakat adat Fritu sebagai aktor kunci untuk melestarikan keanekaragaman hayati tersebut, caranya dengan membuat tata ruang ini. “Keanekaragaman hayati itu harus kita jaga karena itu kekayaan yang ada di wilayah adat” tutup Munadi *(Adi)