Perjuangan Orang Gebe Merawat Harapan

 

Sekilas Tentang Gebe

Gebe, satu dari sekian banyak pulau di Maluku Utara yang kaya sumber daya alamnya. Ada nikel disini. Secara historis, pulau kecil ini sebelum kehadiran negara hingga saat ini merupakan wilayah Kerajaan Tidore yang dipimpin Sangaji Gebe. Jika membuka kembali sejarah, Pulau Gebe sudah didiami oleh manusia sejak zaman purbakala dan memiliki bahasa sendiri. Terdapat dua suku asli Gebe, Wetef dan Wagiya. Seiring berjalannya waktu, kedua suku ini berkembang lalu menghasilkan empat marga; Umsipiyat, Umsandin, Umlati, dan Umsero.

Sebelum Islam masuk, suku-suku ini percaya pada kekuatan supranatural dan mereka hidup di gua-gua. Sehari-hari mereka saling membunuh dan saling memakan satu sama lain. Berdasarkan cerita masyarakat setempat, ada sekelompok orang datang dari Serambi Makkah untuk menyebarkan Islam. Namun setelah mereka menduduki Gebe, mereka dibunuh satu persatu oleh suku-suku di Pulau Gebe dan tidak ada yang tersisa. Baru pada tahun-tahun berikutnya, seorang berkebangsaan Palembang menginjakkan kaki di Gebe dengan maksud siar Islam. Dan beliau berhasil mengeluarkan mereka dari goa serta mengislamkan beberapa di antaranya.

Nama Gebe ada dua versi yang disampaikan masyarakat. Pertama, kata Gebe berasal dari bahasa Tidore, yaitu Ge berarti “di situ” dan Be berarti “di mana”. Nama ini mulanya adalah perjalanan pihak Kesultanan Tidore dari Patani-Weda menuju Papua. Di dalam perjalanan mereka menemukan Gebe ketika malam dan bertanya-tanya perihal Gebe. Salah seorang mengatakan “mega ge?” (apa di depan itu?), seseorang menjawab “be?” (di mana). Kemudian ada yang menjawab “ge” (di situ). Gabungan “ge” dan “be”  itulah yang menjadikan pulau mungil ini bernama Gebe.

Kedua, Gebe berasal dari bahasa Gebe kuno yaitu GEB yang berarti “lunas perahu”. Menurut cerita, versi ini erat kaitannya dengan terpecahnya perahu nabi Nuh a.s. yang bagian dasar perahunya (lunas) adalah pulau Gebe. Tapi kata Geb kemudian dirubah Gebe sewaktu penjajahan Belanda. Ada beberapa hal yang mengganjal perihal nama dan asal-usul Gebe, namun diakui secara luas di dalam masyarakat Gebe.

Selain itu, bapak Jamma, penduduk asli yang juga tokoh agama itu mengisahkan bahwa Gebe terdiri lima huruf Hijaiyah yakni Nun, Kaf, Lam, Fa dan Sin. Kelima huruf ini disimbolkan diatas bukit pada gunung-gunung di Gebe yaitu bukit Kaf dan Lam1 di bagian barat, Elfanun2 bagian timur, gunung Fa terpisah di depan Gebe dan bukit Smingit yang berada diantara desa Sanafi dan Umera.

Penyebaran Islam di Gebe sama pula daerah lain di Indonesia. Masuknya ajaran Islam ke Gebe dibawa oleh Abdul Manau, laki-laki berkebangsaan Palembang. Beliaulah yang membangun pemukiman warga yang sekarang menjadi desa Sanafi. Sanafi adalah desa pertama di Gebe, tapi karena sering terjadi konflik internal, sebagian warga melarikan diri dan membangun desa di tempat lain. Jadi terbentuklah desa Umera, Umiyal, dan Yam. Sedangkan desa Kacepi, Kapaleo, Mamin, dan Elfanun dibentuk  setelah hadirnya perusahaan PT. Aneka Tambang (ANTAM) pada 1979.3

Di Gebe, khususnya tanah adat atau tanah ulayat bisa ditelusuri melalui surat pernyataan yang dikeluarkan Sultan Tidore ke-32 yaitu Sultan Achmadul Mansur Sirajuddin Syah (1821-1856) tertanggal 6 Rajhab 1241 Hijriyah.

            Berikut ini adalah pernyataan Sultan Achmadul Mansur Sirajuddin Syah:

Pernjataan Hak Milik Hak Atas Tanah Papua ( Irian Barat): Kita Paduka Seri Chalifah annurul mulki dlasiman fil asjikin wahuwa said Acmadul Mansur Sirajuddin Sjah Katjil Djauhan Jusuf Sultan dari kerajaan istana tidore serta pasisir2 dan pulau2  jang berta’luk dan berbakti di bawah keperintahannja di dalam perlindungan oleh gubernemne belanda tanah hindia masjrik pada siapa jang melihat  dan membatja ini selamat adanja.-Sjahdan, ada tertimbun sebarang sjak dari hak kebenaran  dan kepunjaan sungguh oleh kerajaan tidore atas sekalian pasisir2 tanah papua, man di cari pulau2 pun begitu lagi  dari tanah besarnja. maka kita paduka seri sultan tidore serta putra2, bobato2, menteri2 dan sekalian pegawai2. atas perjara keradjaan tersebut adalah bernjataan serta berkekuatan dengan surat  wartakan jang sesungguhnya dari kala-kala dahulu belum lagi zaman keperintahan seri sultan  saifudin jang mahrum  atas rachta  kerajaan tidore dan pasisir2 serta taluknja segala  pulau2 tanah papua itu  jang dimanakan pulau2 gebe, joy, gak, ju, bo-popa, pisang, waigeu, salawati, baatanta, misowol, dengam sekalian pulau2 berikutnja serta papua tanah besar  yang di namai “niauw guinia”  sekalian tempat tanjung2 nja dari sebelah utara sampai selatan dan dari timur sampai ke barat sudahlah menjadi kepunjaan  sungguh dan benar dan mengenai memegang peraturan oleh kerajaan tidore tersebut. di luar sebarang enggan berpilihan atas bersangkalan dari seberang lain kerajaan atau djenis perintahan.- Maka djikalau sekarang lain kerajaan atas djenis keperintahan hendak mengharu biru  atau mengurangi kebenaran keradjaan tidore atas perkara itu, kita seri sulthan wajib pada melawan menegakan segala berkehendakan atau perbuatan sebegitu rupa serta dengan sangat mohon tolongan melindungi kita serta keradjaan kita yaitu maha tuan geberneman wolanda jang memegang  keperintahan atas sekalian tanah maluku adanja.-begitulah sudah di menjuratkan dan berbuat atas gunung tidore pada 6 h. b. radjab tahun 1241 hijriyah.-adalah bertanda sulthan tidore TTD(Achmadul Mansjur Sirajuddin Sjah).”

Surat di atas jelas bahwa Gebe secara keseluruhan, utara hingga selatan maupun timur hingga barat, adalah wilayah tanah adat atau tanah ulayat yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan Tidore. Seluruh bukti-bukti kebenaran atas tanah adat diakui semua masyarakat Gebe hingga sekarang. Namun didorong oleh kepentingan kelompok, baik dalam masyarakat Gebe dan pihak luar, mereka memanipulasi tanah adat Gebe sehingga luas tanah adat berkurang. Ada beberapa daerah dinyatakan sebagai daerah bebas (kosong) melalui surat keterangan yang dikeluarkan kepala desa Kapaleo Soleman D.S. dengan nomor 140/…/VI-92, tertanggal 1 Mei 1992 tentang penguasaan sebagian tanah di Gebe yaitu 900 hektar.

Selain itu, Soleman juga mengurai wilayah Gebe dibagi beberapa bagian, yaitu bagian utara tanah negara (kosong), timur Sanafi sampai Mamin, selatan Kacepi sampai Yam bagian, dan barat area pertambangan PT. Aneka Tambang (Antam). Surat yang dikeluarkan Soleman (alm.) tersebut jika dihubungkan dengan surat pernyataan Sultan Achmadul Sirajuddin Syah, maka jelas bertolak belakang. Sedangkan Soleman bersikeras mempertahankan bahwa Gebe di sebagian wilayah yaitu bagian selatan dan barat adalah tanah negara (bebas).

Bercokolnya Perusahaan Tambang di Gebe

Persoalan manipulasi hak tanah menjadi terang setelah diketahui bahwa Soleman adalah karyawan penting di Antam. Soleman adalah “pemain” dibalik pembuatan surat keterangan pembatasan wilayah. Secara otomatis, keberpihakan Soleman lebih kepada kepentingan perusahaan dibandingkan masyarakat Gebe. Bukan hanya Soleman, ada nama lain juga bersengkongkol dengan Antam. Dan, Antam kemudian mengalihkan fokus masyarakat dengan mendirikan PT. Gebe Karya Mandiri (GKM) dan penanggungjawabnya diberikan kepada penduduk pribumi.

Dalam laporan yang dikirim oleh tokoh masyarakat Thalib Abdul Karim atas nama Masyarakat Miskin Gebe, pada 12 Mei 2011 dengan nomor SM 01/05/20114 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri menyebutkan bahwa Bakir Abd. Gani (kepala desa Mamin), Kasim Abdullah (warga Yam dan mantan karyawan Antam), Abd. Rasid Marsaoly (warga Kacepi yang juga mantan karyawan Antam), H. Haidir (warga Banemo, Patani), dan H. Mahmud (warga Kacepi). Diantara kelima orang ini, Kasim Abdullah adalah petugas pengekspor. Menurut Thalib, kelima orang ini juga aktor ketika GKM pada 2009 menancapkan “tiang” penindasan di Pulau Gebe.

Kata beliau sebagaimana tertuang di surat tuntutan, menyebutkan Bakir, Kasim, Rasid, Hi. Haidir dan Hi. Mahmud adalah pengelola GKM. Dalam surat itu menerangkan bahwa, “Hasil ekspor 27 kapal  dan sisa nikel sebanyak 100.000 ton habis terjual dan hasilnya di bagi-bagi oleh oknum anggota GKM yang terdiri dari pimpinan GKM yakni Bakir yang memperoleh 2,7 Milyar. Anggota GKM yakni Kasim dan H. Haidir sama-sama 3 Milyar, sedangkan Rasid dan H. Mahmud masing-masing 2,5 Milyar. Oknum-oknum GKM berasal dari Gebe dan Patani ini adalah mantan karyawan Antam.”

Masih dalam surat tersebut, Thalib berkisah bahwa Antam selama 25 tahun beroperasi di Gebe, tidak adil kepada karyawan yang asli penduduk Gebe. Selama kegiatan eksplorasi dan ekspor, Antam hanya memprioritaskan karyawan dari Pomala dan luar Gebe yang lain. Alhasil, konflik horizontal sesama masyarakat Gebe dan pendatang sering terjadi. Pada 2006, sekitar 429 kepala rumah tangga menuntut Antam agar segera membayar biaya pembebasan lahan sebesar  600 Milyar. Tapi lagi-lagi, pihak perusahaan hanya berjanji. Hal ini membuat masyarakat Gebe semakin marah dan konflik kembali pecah. Konflik 2006 merupakan puncak dari sekian konflik yang pernah terjadi.

GKM dalam perjalanannya kian merisaukan masyarakat, disebabkan kurangnya perhatian dan tanggungjawab untuk masyarakat. Dan, akhirnya pimpinan GKM memutuskan untuk menghentikan aktivitas perusahaan, seterusnya menyerahkan semuanya termasuk biaya sisa 20 Milyar ke PT. Fajar Bakti Lintas Nusantara (FBLN).

Tentang PT. FBLN

Beberapa hari lalu, ketika saya bersama kawan-kawan aktivis berkunjung ke Gebe, saya mewawancarai Bapak Rauf Salama, kepala desa Umiyal. Dia pun bercerita, ”Semua kepala desa, termasuk saya, diundang oleh Ibu Mery untuk menghadiri acara pernikahan anaknya di Jakarta. Awalnya tidak terpikirkan bahwa keberangkatan kami ke Jakarta adalah siasat Ibu Mery demi memuluskan rencananya soal FBLN. Tapi saya tetap yakin ada sesuatu dibalik semua ini. Setiba di Jakarta, saya dan kepala desa yang lain dibawa jalan-jalan ke gedung-gedung mewah, makan di restoran mahal, hingga ke toko pakaian dan sepatu.

Lanjut Rauf, “Kami disuruh memilih sepatu dan tidak perlu berpikir soal pembayarannya, karena itu urusan Ibu Mery. Saya semakin bingung. Kepala desa yang lain sudah mencari-cari sepatu yang cocok untuk mereka. Karena takut, saya keluar dari toko itu. Tak lama kemudian mereka juga keluar. Dan tak satupun dari kami yang membeli sepatu. Ketika pulang, tiket kami ditanggung Ibu Mery. Katanya, biaya pulang ke Gebe, ia yang tanggungjawab. Beberapa bulan setelah berada di Gebe, saya didatangi seorang laki-laki. Atas perintah Ibu Mery, saya disuruh menandatangani selembar surat. Akhirnya saya sadar tujuan kami diberangkatkan ke Jakarta waktu itu. Saya pun tanda tangan surat itu, karena saya melihat kepala desa yang lain juga tanda tangan.”

Kedatangan FBLN di Gebe tidak terlepas dari peran GKM dan Antam. Bisa dikatakan FBLN adalah “anak kandung” Antam, karena izin usahanya menggunakan izin pinjam pakai dari GKM. Kedatangan FBLN dengan misi membuka lapangan kerja itu justru menimbulkan masalah lebih serius. Beberapa catatan buruk dilakukan FBLN, misalnya ketika Ibu Mery, pimpinan FBLN dalam pertemuan terbukanya dengan masyarakat di pasar Gebe. Beliau memberikan harapan pada masyarakat, “Jika PT. Fajar Bakti Lintas Nusantara beroperasi, lampu tinggal  kontak, air tinggal putar kran.”

Tatkala masyarakat menerima FBLN untuk beroperasi, pihak perusahaan melupakan janji sampai hari ini. FBLN merealisasikan janji selalu setengah hati dan itupun dikarenakan masyarakat menggelar demonstrasi. Bantuan BBM (Bahan Bakar Minyak) untuk mesin listrik hanya berjalan satu-dua minggu. Seterusnya tidak lagi diperhatikan. Sejak beroperasi, FBLN belum pernah bersosialisasi terkait Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) yang sudah disepakati bersama pada 23 Mei 2013. Akibatnya limbah perusahaan mengalir ke sembarangan tempat, bahkan di pantai limbah perusahaan ada di mana-mana. FBLN tidak memedulikan hal ini, padahal limbah sangat berbahaya bagi kesehatan.

Perusahaan sering menawarkan uang ratusan juta hingga milyaran rupiah kepada orang-orang yang menggerakkan aksi protes oleh masyarakat. Dan itu diakui beberapa orang, tetapi mereka tidak menerimanya. Tidak sebatas itu, penerimaan gaji kerap menimbulkan amarah, khususnya tenaga kerja lokal. Hal itu terjadi bertahun-tahun. Misalnya, tenaga kerja dari Ambon yang ditempatkan di asrama dan terlayani secara baik, mulai dari konsumsi hingga kebutuhan lainnya. Tapi konsumsi tidak merata meski dalam bidang kerja yang sama. Tenaga kerja luar Gebe menerima jatah konsumsi tiga kali dalam sehari, sedangkan karyawan lokal dua kali sehari. Anehnya, karyawan yang tidak setuju dengan kebijakan perusahaan akan dipecat tanpa alasan.

Masalah berikut adalah FBLN menunggak biaya Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Melalui Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA), Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah menyurati FBLN namun tak satupun surat itu direspon. Surat pertama dikirim pada 16 September 2014 dengan nomor 970/95/DP3T/9/2014 disertai keputusan retribusi. Kedua pada 4 Maret 2015, ketiga pada 16 Juni 2015, keempat pada 12 november 2015. Surat kelima pada 17 Desember 2017 disertai sanksi 2% yaitu sebesar Rp 222.875.000,- karena keterlambatan pembayaran IMB.

Surat kelima itu dibalas oleh FBLN yang didalamnya menerangkan bahwa FBLN akan melunasi tunggakan sekaligus dendanya pada akhir Januari 2017. Direktur Utama FBLN Maria Candra Pikal, mengatakan pihaknya tidak keberatan dengan sanksi berupa denda 2% atas keterlambatan pembayaran IMB yang jatuh temponya 12 September 2015 lalu.

Penderitaan Masyarakat Gebe

Akibat penderitaan yang dirasakan masyarakat Pulau Gebe, pada 2010 mereka melakukan aksi demonstrasi di lokasi Antam untuk menuntut ganti rugi setelah pembebasan lahan maupun sederet masalah yang lain. Mereka membangun tenda dan berminggu-minggu menduduki Antam, mulai dari pemuda, mahasiswa, ibu rumah tangga, hingga tokoh masyarakat. Mereka juga membawa penyediaan makanan.

Penderitaan masyarakat Gebe luput dari kepedulian pemerintah dan para wakil rakyat. Malah mereka (masyarakat Gebe) menganggap derita dan konflik yang dialami merupakan pembiaran atau sengaja dirawat oleh para elit. Selama melakukan perlawanan, masyarakat Gebe mendapat ancaman yang luar biasa. Lebih gawat lagi, aksi demonstrasi berakhir mengenaskan yakni penembakan dari pihak kepolisian terhadap masyarakat Gebe. Tragedi kemanusiaan itu melukai beberapa massa aksi. Dan pada aksi tersebut hanya Corporate Social Responsibility (CSR) saja yang direalisasikan, sebagian tuntutan sengaja diabaikan demi menutup masalah lain yang lebih besar.

Penjajahan atas Pulau Gebe dimulai sejak 1968 oleh perusahaan Jepang PT. Indonesia Nickel Development (INDECO) hingga PT. FBLN sampai detik ini. Artinya penjajahan terhadap masyarakat Gebe sudah puluhan tahun lamanya. Pemerintah sengaja menciptakan ketimpangan sosial di daerah yang kaya sumber daya alam. Hal ini dilakukan secara sadar. Infrastruktur seperti jalan, listrik, dan air bersih tidak tersalurkan dengan baik. Kemerdekaan yang seharusnya membebaskan masyarakat Gebe dari belenggu ketidakberdayaan hanyalah mimpi. Seorang nenek pernah berkata pada saya,”Bilang pe dorang sadiki, so bae siksa tong, tong so tara poha….”5

Entah sampai kapan masyarakat Gebe harus hidup menderita. Wallahualam…. (*)

*Catatan:

1tempat ini sebelumnya menjadi arena pertambangan INDECO, ANTAM, GKM, dan FBLN. Berkat perjuangan masyarakat Gebe, bukit Kaf dan Lam dibebaskan, karena selain sebagai tanah adat juga ada bukti sejarah seperti tungku masak yang terbuat dari batu.

2bukit elfanun sementara dibangun pabrik FBLN dan masih bersengketa.

3hasil wawancara bapak Jamma.

4surat tuntutan dikirim ke Presiden dan KPK tapi tidak pernah sampai, karena dicegah oleh oknum tertentu dari instansi yang menangani soal BUMN.

5artinya beritahukan kepada mereka (pemerintah dan perusahaan), cukup menyiksa kami, kami sudah tak mampu….

Sumber: jalamalut.com  http://www.jalamalut.com/index.php/2017/01/perjuangan-orang-gebe-merawat-harapan/

Penulis

Penulis

 Imran Husen | Ketua Umum PB. dJAMAN Maluku Utara

3 thoughts on “Perjuangan Orang Gebe Merawat Harapan

  1. Luar biasa sejara pulau gebe ini saya ketika membaca saya selalu teringat tanah kelahiranku ini.. Smoga selalu bebas Dari bencana Alam..

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *