Afrida: Apalah Guna Penerus Suku Pagu Kalau Tidak Mengenal Identitasnya
TOBELO- Demi menjaga bahasa dan tradisi budaya. Masyarakat Adat Isam/Pagu menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Desa Sosol Kecamatan Malifut, Halmahera Utara. Kegiatan dengan tema “Masyarakat Adat Dan Globalisasi” dilaksanakan di Pusat Pendokumentasian dan Revitalisasi Bahasa dan Budaya Pagu Nanga Wola (Rumah Kita). Rabu, 07/09/2016.
Pembicara yang hadir Ir. Hein Namotemo, Ketua Dewan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (DAMANNAS), Dalang Pranginangin, Peneliti Bahasa Pagu, Afrida Erna Ngato, Sangaji Pagu, dan Selfiana, Pendeta Sosol.
Hein dalam paparannya menjelaskan, hidup dan mati dirinya adalah adat, “Kenapa kita harus malu memakai baju adat kan tidak ada yang melarang. Adat itu identitas dan harga diri. Jika sekali melanggar adat maka kita akan terkutuk”. Ucapnya.
Mantan Bupati Halmahera Utara (Halut) dua periode ini menambahkan, adat itu sudah mendarah daging dalam diri manusia. Hakekat adat itu seperti manusia dan Tuhan. Sering manusia lupa akan kebesaran adat dan budayanya sendiri.
“Negara ini terbentuk karena adat. Adat bisa membuat perdamaian hakiki untuk ummat dan bangsa. Tampa adat kita tidak bisa ada di dunia ini. Jadi jangan main-main dengan adat”.
Lebih lanjut Hein mengatakan, sehari dua dia akan pergi mengelilingi Benua Eropa, biar dunia tahu apa yang akan dia lakukan tentang adat.
“Saya akan pergi memakai baju adat, saya akan tunjukan kepada dunia bahwa adat itu adalah segalahnya dalam hidup manusia”. Kata Hein
Sementara Dalang Pranginangin menambahkan, bahasa Pagu adalah identitas diri. Bahasa Pagu sebagai pengikat persaudaraan dan pandangan hidup suatu komunitas adat. Bahasa Pagu ini boleh dikatakan sudah hampir punah. Jadi perlu diangkat kembali, salah satunya harus belajar dari sekarang terutama untuk kalangan muda.
Untuk menghindari jangan sampai bahasa Pagu mengalami kepunahan, salah satu cara adalah memasukan ke dalam kurikulum di tingkat sekolah. Generasi Pagu sekarang mulai kehilangan jati diri mereka. Mereka mulai malu berbahasa Pagu dalam perbincangan keseharian.
“Saya berharap wadah Nanga Wola ini sebagai batu loncatan kita berproses. Bahasa Pagu adalah bahasa ibu yang ditinggalkan oleh leluhur untuk kita dan generasi kedepan”. Ungkap peneliti yang perna bekerja di LIPI.
Hal senada juga di sampikan Afrida, masyarakat adat sangat kaya akan budaya, adat istiadat, namun saat ini Pagu seakan mengalami pergeseran perilaku dalam bahasa itu sendiri. Saat ini tutur dalam bahasa Pagu hanya di lakukan kalangan tua.
“Apalah guna penerus suku Pagu kalau tidak mengenal indentisasnya. Harapan saya kepada bapak-ibu mari kita berawal dari sini (Nanga Wola). Mari kita susun kembali asal usul masyarakat adat Pagu. Apalagi kita berkesempatan karena kita di bantu oleh LIPI”. Harapnya (ADI)