Oleh : Supriyadi Sudirman
Sontak. Rakyat Maluku Utara digemparkan dengan adanya pengibaran Bendera Republik Rakyat China (RRC) pada Jumat, dua puluh lima November Dua ribu Enam Belas itu terjadi di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara.
Pengibaran Bendera RRC itu ditandai dengan mulainya investasi, peresmian Smelter milik Perusahan Tambang Wanatiara Persada.
Hal ini pun menjadi viral di media sosial, fesbuk, twitter, black berry massager, hingga media elektronik local dan nasional memajang judul kira-kira begini, “bendera China Berkibar di Ternate”. Padahal, Pulau Obi begitu jauh dengan daratan Pulau Ternate. Bisa semalam perjalanan laut dari Ternate ke Pulau Obi. Hohoho..
Hal ini pun menjadi perbincangan—isu hot di Kampus, Kedai kopi, rumah makan, salon, tempat cukur rambut, hingga pangkalan ojek. Beberapa OKP maupun mahasiswa yang tergabung di dalamnya pun merespon hal ini dengan memantik—layaknya viral “NKRI Harga Mati”. Mereka pun merespon dengan cerita kejuangan orang-orang terdahulu melawan penjajah hingga akhirnya, melakukan aksi turun jalan dengan tuntutan kira-kira begini; Gubernur Malut harus tanggungjawab dan copot Kapolres Halsel.
Saya rasa, respon para saudara-saudara OKP ini adalah bagian dari semangat “Nasionalisme”. Iya, ada nilai positifnya.
Terkait kejadian tersebut, banyak media yang memberikan infosmasi tersebut; Saat rombongan pejabat dan wartawan lokal menuju lokasi peresmian smelter di pulau Obi, mereka menumpangi kapal Motor Sumber Raya 04 bersama perwakilan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FORKOPIMDA) dan tentu Gubernur Maluku Utara pada pukul 08.30.WIT. Seketika, muncul informasi tentang pengibaran bendera RRC yang posisinya sejajar dengan bendera Negara Republik Indonesia namun ukuran bendera China itu lebih besar dari Sang Saka Merah Putih.
Melihat kejadian tersebut, awak media yang berada di lokasi pun berinisiatif menurunkan bendera China itu. Namun, upaya para wartawan ini dihalang oleh karyawan lapangan perusahaan dan Kapolres Halmahera selatan dengan dalih; biarkan orang China sendiri yang menurunkan bendera mereka agar tidak terjadi permasalahan yang besar.
Suasana menjadi tegang ketika hal ini direspon Pasintel Lanal Ternate Mayor Laut Harwoko Aji yang segera memerintahkan langsung kepada Sertu Mar Agung Priyanto anggota Sintel Lanal Ternate secepatnya menurunkan Bendera China yang berukuran lebih besar dari Sang Saka Merah Putih. Kira-kira begitu kronologis yang beredar di media sosial.
Oke, kembali ke semangat nasinalisme yang timbul atas kejadian tersebut. Namun, kiranya kita juga harus melihat fakta di balik kejadian pengibaran bendera RRC tersebut: berikut sekadar informasi bahwa, Perusahan Tambang Wanatiara Persada (PT WP) ini mengantongi izin Operasi Produksi dengan nomor SK 81 Tahun 2011. PT ini beroperasi dengan luas konsesi sebesar 1.725,54 Ha untuk mengambil Nikel yang ada di perut Bumi Kie Raha.
Kedaulatan Dirampas
Kedaulatan Negara ini bukan hanya pada simbol-simbol belaka. Akan tetapi kejadian yang membuat kita semua geram dengan berkibarnya bendera RRC di selatan Halmahera ini berada dalam Kedaulatan Negara Republik Indonesia yang di dalamnya ada pemerintah yang mengatur kedaulatan bangsa Indonesia untuk kehidupan rakyatnya. Betul, atas kejadian ini telah mencederai bahkan bisa dikatakan tidak menghargai symbol kebangsaan kita Sang Saka Merah Putih. Kenapa tidak? Buktinya bendera RRC lebih besar dari Saka Merah Putih! Wajar kalau kaum muda pun turun ke jalan merespon kejadian tersebut.
Semua orang ingin berdaulat, berdaulat atas apa? berdaulat atas tanah, bukankah Wiji Tukul telah mengingatkan kita, “Semua Orang Butuh Tanah.” Bisa dikata, di balik pengibaran bendera RRC itu adalah, kedaulatan rakyat telah diambil sebab, tanah rakyat sudah beralih fungsi, dengan diberlakukan izin atas perusahan tersebut yang ditopengi atas nama Kesejahteraan dan Peningkatan ekonomi. Lho? Kesejahteraan dan peningkatan ekonomi untuk siapa jika tanah rakyat sudah milik aseng eh asing?
Kiranya, baru satu bendera milik asing yang berkibar di Pulau Obi. Saya membayangkan, masih ada 54 bendera asing lagi. Semoga tidak berkibar di tanah air Indonesia yang telah beralih fungsi. 54 bendera tersebut memiliki “wajah” yang sama yakni investasi asing yang ada di daratan selatan Halmahera. Khusus di Wilayah Halmahera selatan sudah mengantongi 55 izin tambang dengan total wilayah konsesi yang dikuasasi asing sebesar 284.650,57 Ha menjadikan Halsel sebagai urutan ke-3 di Malut yang memiliki izin tambang terbanyak. Sedangkan urutan ke-2 adalah Halmahera Tengah yang mengantongi izin pertambangan sebanyak 66, dan yang menduduki urutan pertama adalah Kepulauan Sula yang mengantongi 91 izin pertambangan. Hebat!
Bisa dibayangkan berapa kebun warga yang harus tergusur. Kelapa, Cengke, Pala, dan hasil hutan lainnya harus hilang seketika karena hadirnya tambang. Naasnya, hal ini tidak hadir dalam semangat nasionalisme yang timbul saat pengibaran bendera RRC.
Tak hanya sumber daya alam kita yang hilang, sosial budaya kita pun mulai terkikis dengan kehadiran investasi pertambangan yang menghilangkan ruang hidup kita secara perlahan-lahan. Sementara, rasa geram di sudut kota Ternate masih jauh dari persolan mendasar yang sebenarnya sudah kita hadapi.
Seandanya kita tidak melupakan kampung, lalu pulang melihat daratan Halmahera, bahwa di Maluku Utara ini, kehidupan para petani, nelayan di kampung mengantungkan hidup pada tanah dan air yang ada di Maluku Utara. Lalu, bagaimna jika tanah mereka suda dikapling habis oleh perusahan yang mendapat Izin dari Negara. Bukankah ini mencabik-cabik kedaulatan bangsa kita.
Semua orang menghargai aksi turun jalan yang dilakukan di kota ternate ini, namun sekali lagi sama-sama kita mengingatkan bahwa kedaulan atas tanah sudah “tergadai” dengan adanya izin pertambangan.Hal ini mengakibatkan hak masyarakat Lokal dan masyarakat adat tidak di hargai. Investasi asing leluasa bercokol di tanah rakyat atas izin Negara lagi-lagi dengan dalih kesejahteraan dan peningkatan ekonomi yang entah dinikmati siapa.
November Kelabu
November ini memang kelabu, tak banyak respon karena November ini abu-abu. November ini, Rakyat Gebe melakukan aksi di areal Perusahan Tambang Fajar Bakti Lintas Nusantara (PT FBLN). Mereka menuntut Hak sebagai pekerja untuk kenaikan gaji, upah makan, serta meminta pihak perusahaan memeriksa kesehatan mereka secara berkala. Namun sayang tidak di akomodir oleh pihak perusahaan bahkan pemerinta daerah abai atas kejadian yang menimpah rakyat.
Aksi rakyat pun berujung pemboikotan, lebih fatal, masa aksi dikecam sala satu wakil pimpinan kepolisian. Bagaimna bisa rakyat menuntut Hak lalu harus dapat kecaman.
Tanggal 9 November 2016, Pulau Gebe bergejolak di delapan Desa yang ada di Pulau Gebe harus turun kejalan menuju perusahan FBLN. Ribuan masa aksi membanjiri sebagaian pulau Gebe terutama lokasi FBLN. Aksi damai berbuah petaka bagi rakyat Gebe. Menurut keterangan warga sebelumnya aksi berjalan damai dan lancar.
Surat kabar Malut Post mengabarkan (Pada taggal 09 November 2016 ), Kericuhan mulai terjadi dan suasana mulai memanas ketika masa aksi dipersilahkan masuk ke kantor FBLN dalam rangka melakukan hearing dengan pimpinan perusahan. Ketika memintah hearing dengan perusahan, sala satu pimpinan perusahan meminta perwakilan 10 orang masa aksi untuk hearing, namun permintaan itu ditolak karena tidak sesuai dengan keinginan masa aksi saat itu, masa aksi meminta lebih dari sepuluh orang masa aksi, permintaan masa aksi ditolak juga akhirnya terjadi gesekan antar masa aksi dengan aparat keamanan yang berada di lokasi. Gesekan yang tak terbendung itu akhirnya aparat keamanan melepaskan tembakan ke udara. Mendengar bunyi tembakan, masa aksi naik pitam, emosi tak terbendung lagi, ada batu melayang di depan masa aksi yang di duga dilakukan masa aksi yang di belakang, tibalah kericuhan hingga mengakbitkan pengrusakan alat-alat produksi dibakar berupa mobil dan pengrusakan kantor perusahaan.
Atas kejadian ini mengakibatkan 14 warga Gebe harus ditahan dan ditetapkan tersangka oleh kepolisian daerah Maluku Utara. Penangkapan 14 warga Gebe seakan tenggelam dengan kejadian yang terjadi di Pulau Obi saat berkibarnya bendera RRC.
Mari membuka mata atas kejadian ini, penangkapan 14 warga Gebe dan berkibarnya bendera RRC di Maluku Uatara ini sungguh melanggar dan mencederai kedaulatan bangsa kita, akan tetap soal kedaulatan ini suda sejak lama terabaikan oleh kita semua, bukankah Maluku utara ada banyak bendera asing yang belum berkibar seperti saat ini..? ada sekitar 313 izin pertambangan di Maluku Utara. Tentu ini semua milik asing dan sesungguhnya pengibaran bendera di tanah Maluku Kie Raha suda terjadi sejak lama. Dimana letak kedaulatan kita jika semua harus dikuasai asing lewat investor pertambangan, nawacita Pak Presiden tidak akan berjalan jika semua tanah harus digadaikan. Sungguh kehadiran Investasi ini mencabik-cabik harga diri dan kedaulatan atas tanah. Di Gane, kebun mereka (rakyaat) tergusur dan diganti dengan Sawit karena hadirnya PT Korindo. Rakyatpun diintimidasi, dkriminalisasi. Masyarakat Adat Sawai dengan WBN pun berhdap-hadapan, Warga Malifut dan Kao harus berhadapan dengan NHM, di Haltim, warga juga harus berhadapan dengan Antam. Mari melawan, rebut kedaulatan kita, Laksanakan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bagi Rakyat.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan Maka hanya ada satu kata: lawan (Wiji Tukul).
1 thoughts on “Bendera RRC dan Kedaulatan yang Hilang”