Weda – Konflik agraria makin massif seiring dengan kebijakan pembangunan di sector sumberdaya alam yang dirancang oleh Pemerintah Daerah. Kelompok yang paling dirugikan adalah masyarakat adat, mereka tidak berkuasa diatas tanah adatnya sendiri. Semestinya ada kebijakan yang mengakui hak-hak masyarakat adat tersebut sesuai amanat konstitusi. Hal demikian disampaikan oleh Abdurahim Odeyani, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Halmahera Tengah, pada acara Konsultasi Publik Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) di Halteng, yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, bertempat di Kota Weda, (23/12/2015).
“Ada amanat UUD pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3), selain itu ada pengakuan masyarakat adat dari UU Kehutanan serta Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012, termasuk juga UU Desa. Seharusnya pemerintah mendorong Perda Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat supaya masyarakat adat memperoleh kembali haknya” kata beliau.
Odeyani juga menceritakan bahwa proses lahirnya Ranperda ini tak terlepas dari Konflik sumberdaya alam di Halteng. Menurut beliau, beberapa waktu lalu ada warga yang ditangkap karena membuka lahan kebun di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung, padahal secara adat kawasan tersebut adalah wilayah adatnya orang Weda.
Proses perjalanan Ranperda ini juga tidak mudah, karena dalam pembahasan bulan sebelumnya Bupati Halteng tidak meresponnya dengan baik. Alasan Bupati bahwa Ranperda ini tidak ada payung hukumnya. “Dari 10 iniasitif Ranperda dari DPRD, Bupati hanya menerima 3, Ranperda PPHMA tidak masuk. Tapi karena DPRD memberikan tanggapan balik terhadap pandangan Bupati, maka Ranperda tersebut masih dalam proses pembahasan” ungkap Odeyani.
Ranperda ini akan di bahas pada tanggal 28 sampai 31 Desember 2015. Dia memintah DPRD dan masyarakat agar terus mengawal proses ini sampaikan disahkan “Ini harga mati harus disahkan, karena merupakan kebutuhan masyarakat adat” tegas beliau.
Sementara Erasmus Cahyadi Direktur Advokasi dan Kebijakan PB AMAN yang hadir dalam Konsultasi Publik tersebut, mengatakan Perda ini sudah harus jelas menyebut siapa unit social masyarakat adat yang di Halteng. Beliau menyarankan Ranperda yang ada di tangan DPRD saat ini harus diperkuat sebelum disahkan.
“AMAN sudah melakukan penelitian etnografi masyarakat adat di Halteng. Ranperda PPHMA ini harus menggunakan hasil tersebut sebagai muatan dalam naskah akademik dan penyusunan norma” ungkap Eras
Dari hasil penelitian etnografi ditemukan unit social masyarakat adat di Halteng adalah Boten. Menurut Eras, Perda ini langsung mengakui Boten sebagai unit social masyarakat adat di Halteng. Selanjutnya komunitas yang sudah punya peta wilayah adat seperti Banemo dan Fritu ditetapkan sebagai masyarakat adat beserta hak-haknya.
Eras juga memandang perlu ada komisi independen yang diatur dalam Perda ini yang berwenang menyusun tata cara identifikasi dan verifikasi masyarakat adat, menerima laporan pelanggaran hak-hak masyarakat adat, memeriksa laporan dan dokumen lain yang diajukan pelapor, memanggil dan memeriksa para pihak, meminta keterangan dari pihak yang dipandang mengetahui masalah yang sedang diperiksa, memutuskan sengketa pelanggaran hak-hak masyarakat adat.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh perwakilan masing-masing komunitas masyarakat adat di Halteng, unsur AMAN, dan LSM serta Ormas yang berada di Halteng *(timAMAN)
Apa pembangunan di sektor sumberdaya alam yang dirancang oleh Pemerintah Daerah sehingga menimbulkan konfik agrarian ?
sektor tambang menjadi unggulan Pemda, hak-hak MA di abaikan
apakah perusahaan pertambangan di Weda sudah memiliki izin dari pemda serta masyarakat adat setempat?