Fritu – Peraturan Desa (Perdes) merupakan produk hukum yang dilahirkan oleh pemerintah desa dalam hal ini Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Karena setelah keluarnya UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa maka desa menjadi paling otonom di Republik ini. Hal tersebut dikemukakan Hendra Kasim Akademisi UMMU dalam pelatihan penyusunan Perdes Tata Ruang Wilayah Adat Fritu. Kamis, 06 April 2017 di Desa Fritu.
Kegiatan yang difasilitasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara dan Burung Indonesia tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari tokoh – tokoh adat setempat.
“BPD harus terlibat karena dalam UU Desa mereka itu DPR di Desa, maka suara BPD dianggap mayoritas keinginan di Desa”. Kata Hendra.
Desa itu bisa mengurus diri sendiri dan bisa mengatur pembangunan di desa. “ Orang Fritu bisa menentukan nasib dalam 10 tahun kemudian sehingga desa ini mau jadi apa bisa diatur sendiri, itu semua melalui peraturan Desa”. Ungkapnya.
Ketentuan Perdes itu diatur dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2015 tentang peraturan pelaksanaan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Permendagri Nomor 111/2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa dan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang peraturan perundang-undangan. Itu sebagai dasar hukum dalam dictum Perdesa.
Sehingga menurut dia atas dasar UU, Perdes ini memiliki kekuatan hukum yang sangat kuat dan memberi wewenang kepada Pemdes dan BPD untuk melahirkan produk hukum yang dianggap penting untuk kepentingan di Desa. Sebenarnya menurut Hendra, logika pembentukan ini sama dengan logika pembentukan peraturan perundang-undangan.
Hendra lebih jauh mengurai sistematika penyusunan Perdes, mulai dari judul, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan dan lampiran. “Peta wilayah adat dan data – data yang akan dilindungi dimasukan dalam lampiran Perdes”.
Menurut dia, Perdes harus memiliki ketentuan pidana kalau tidak, orang tidak takut melanggar Perdes.“Perdes yang tidak punya sanksi pidana itu seperti macan ompong”. Ucapnya.
Lebih lanjut, ketentuan Pidana tersebut belum disepakati seperti apa, namun menurut warga, harus ada klasifikasi tindakan dan pelaku. Ketentuan pidana tersebut tidak boleh disamaratakan.
“Hukuman yang diterima warga Fritu terhadap tindakan yang dilakukan karena untuk pemenuhan hidupnya harus berbeda dengan hukuman yang diterapkan kepada perusahan” kata Arkipus Kore, warga Fritu.
Sementara sekertaris Desa Sion Hago, berharap Perdes ini segera dibuat supaya wilayah adat mereka dapat dilindungi dari aktifitas pihak luar yang merusak.
“Kita wajib melindungi sumber daya alam yang kita punya didalam kawasan wilayah adat yang telah kita petakan sama-sama, baik itu aliran sungai, mangrove, pohon dan darah pesisir pantai ”. Ajak Sion
Lebih jelas ketua AMAN Malut menambahkan “Beberapa hari lalu kita sudah identifikasi banyak potensi keanekaragaman hayati yang terancam punah, baik jenis – jenis tumbuhan, spesis, termasuk beberapa sungai juga terancam punah. Itu perlu masuk dalam materi pokok di Perdes”. Ungkap Munadi Kilkoda,
Lanjutnya, Munadi mengatakan bahwa Perdes ini sasarannya pada perlindungan tata ruang wilayah adat juga bersama potensi yang ada di dalamnya.
“Kita juga rencanakan akhir bulan ini draf yang dihasilkan sudah bisa dikonsultasikan kembali kepada masyarakat sebelum disahkan”. Tutup Munadi. (ADI)
Hebat dan semoga konsisten menghadapi segala tantangan dari luar Desa Adat… ?????
makasih bung,,, suda berikan semangat