Perkuat Jaringan, AMAN Terus Mendorong Perda Masyarakat Adat

Tomi menjelaskan situasi yang di hadapi masyarakat adat saat ini. (Dok AMAN)

TERNATE–  Perda Masyarakat Adat di Halmaherah Tengah mulai digulirkan 2014, tahun 2015 masuk dalam Prolegda melalui inisiatif DPRD namun, pada saat paripurna perda ini ditolak Pemerintah. Beberapa alasan yang sengaja dibuat-buat, tidak ada payung hukum UU, dan dianggap menghalangi investasi. Hal ini di sampaikan Munadi Kilkoda, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Malut lewat pengantarnya.

Atas situasi tersebut, AMAN terus melakukan konsolidasi di tingkat basis, memperkuat masyarakat adat, memetakan wilayah adat dan tata ruang, mengkonsolidasi kelompok masyarakat sipil, membangun gerakan melalui jalur politik dan memperkuat jaringan dalam isu Media.

AMAN menilai, Perda Masyarakat Adat di Halteng penting untuk terus memperkuat kepentingan substansi dari Perda, karena itu AMAN menggelar  Semiloka “Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat di Halmaherah Tengah”. Kegiatan ini berlangsung di Hotel Gren Majang, Jalan A. Mononutu, Kota Ternate, Maluku Utara. Juga hadir perwakilan dari Komunitas masyarakat adat di Halteng, Akademisi, Media dan OKP.

Hadir sebagai Narasumber kegiatan, Direktorat Analisis Hukum dan Advokasi  Pengurus Besar (PB AMAN) Tommy Indyan, Direktorat Pusat Studi Masyarakat Kepulauan Universitas Muhammadiyah Malut, Ali Lating.M.A. dan Hendra Kasim, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pemuda Malut. Saptu, (26/8/2017).

Tomi mengatakan, ada hal penting yang mendorong adanya Perda bagi masyarakat adat, menurutnya untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh masyarakat adat dalam mempertahankan ruang, memperjuangkan dan memulihkan hak-hak yang dirampas perusahaan maupun oleh pemerintah. Apalagi konflik dan kekerasan yang dialami oleh masyarakat adat saat ini terus meningkat.

Karena itu, 2016 AMAN kurang lebih 128 konflik yang dialami masyarakat adat yang terdiri dari 947 keluarga dengan luas arena konflik  mencapai 690.558 hektar.

Meskipun UUD 1945 dan undang-undang sektoral lainnya mengakui keberadaan masyarakat adat, akan tetapi kerap terjadi konflik yang melibatkan masyarakat adat dalam mempertahankan tanah mereka.

Tomi menilai, perlunya ada pengakuan bersyarat terhadap masyarakat adat oleh Negara. Memang satu sisi  Negara ingin memberikan pengakuan, namun pada sisi lain, negara mencurigai hak-hak adat itu dapat mengganggu kepentingan nasional terutama pemaknaan dalam  pembukaan lahan untuk berkebun. Tomi mencontohkan.

“ Ini pemahaman yang keliru tentang masyarakat adat dan hak-hak atas tanah dan sumber daya alam. Apalagi pembuat undang-undang masih menganggap hak  masyarakat adat atas tanah merupakan hak yang diberikan oleh negara. Padahal masyarakat adat bentuk  pengklaiman mereka atas dasar hak leluhur yang sudah ada sejak nenek moyang mereka. Jelasnya.

Ia pun mengatakan, “ Sektoralisme pengaturan masyarakat adat dalam peraturan perundang-undangan  pada kenyataannya, peraturan perundang-undangan Indonesia masih berbasis pada kepentingan sektoral”. Katanya.

Padahal terkait dengan itu, Konstitusi telah memberikan jaminan secara tegas pengakuan keberadaan Masyarakat Adat dan hak-haknya. Terutama Pasal 18 B ayat (2) mengenai pengakuan Masyarakat Adat dan hak tradisionalnya dalam konteks pembentukan pemerintahan daerah, Pasal 28I ayat (3) tentang Pengakuan Masyarakat Adat dalam konteks Hak asasi manusia dan Pasal 32 ayat (1) dan (2) mengenai hak Masyarakat Adat dalam konteks kebudayaan, UUD 1945. Jelasnya.

Sejak Putusan MK. 35 tahun 2015, pengakuan Masyarakat Adat melalui produk hukum daerah mengalami peningkatan.  Saat ini sedikitnya terdapat 70 produk hukum daerah yang telah ditetapkan pengakuan keberadaan Masyarakat Adat, Wilayah Adat, Hutan Adat, Lembaga dan Peradilan Adat, serta Desa Adat, dengan luas wilayah adat yang diakui sebanyak 213.541,01 Ha.

Sehingga, pada tingkat nasional juga muncul pengakuan hukum secara konkret berupa penetapan sembilan hutan adat seluas 13.097,99 yang diserahkan secara langsung oleh Presiden Jokowi pada tanggal 30 Desember 2016  lalu di Istana. kitapun berharap komitmen negara terus berpihak bagi masyarakat adat. Harapnya.

Sementara itu Ali Lating mengatakan, segala Penghancuran terhadap hukum adat  akan membuka jalan  bagi kekacauan sosial. Mereka perlu melepaskan kulit  putihnya dan melihat  hukum adat melalui mata pribumi  jika mereka  hendak memahaminya dengan benar. Dalam kutipannya Van Vallonhoven ( David Henley dan Jamie Davidson) dalam buku Adat Dalam Politik  Indonesia . 2010;42-45.

Menurutnya, Masyarakat adat dalam pandangan politik local dari sabang sampai marauke suda mempunyai tradisi yang ada sejak turun temurun baik dalam rekrutmen elit-elit local serta mengangkat pemimpin di tingkat desa muapun komunitasnya. Apalagi, Dalam proses pengelolaan tanah atau SDA baik darat, laut dan pesisir masyarakat adat suda punya cara pengeloloaan sesuai sistem pengetahuan lokal. Jelasnya.

Atas dasar itu ia mencontohkan, seperti di maluku kita kenal dengan  sasi juga di beberapa daerah di malu. Bahkan sampai pada penyelesaian sengketa konflik maupun secara teritorial sehingga prinsip pengelolaannya berbasis kekeluargaan dan gotong royong sebab tanah dalam filosofi masyarakat adat tidak bersifat maket  semata.

“ namun ia adalah satu sistem nilai yang menyatukan tulang-tulang yang retak, maupun tulang-tulang yang jauh terpisah”. Ucap Ali yang juga Dosen Fisip UMMU.

Sedangkan sistem kemasyarakatan, mereka juga memiliki identitas diri, pengorganisasian yang begitu kuat baik secara sosial, politik dan keagamaan. Hal-hal itulah yang masi tumbuh subur di dalam kehidupan masyarakat adat. Lanjutnya.

Secara otonomi daerah masyarakat adat memiki tanah tapi tidak punya hak untuk di kelola, di sini saya melihat relasi antara negara dan masyarakat adat masi sangat jauh di akibatban konflik perebutan SDA akibat posisi tawar masyarakat adat lebih murah dari aktor di luar masyarakat  adat. dengan begitu apa yang terjadi. “ Marjinalisasi masyarakat  adat atas hegemoni negara yang di dalamnya terdapat kepentingan koorporasi atas nama negara untuk marketnisasi serta politisasi sering terjadi”. Ungkapnya.

Karean itu, terakir kita harus menyusun agenda besar dengan membangun mitra strategis antar lembaga-lembaga sosial lain dalam mendorong percepatan pengakuan, perlindungan hak-hak masyarakat adat di halmahera tengah secara khusus umumnya di maluku utara. Ujar Ali.

Hal lain di katakan Hendra Kasim, penyeragaman sitem dari pusat ke daerah inilah yang menjadi malalah, kalau saya mau bilang mesti kita harus jujur mengatakan bahwa kita ini satu tapi tidak seragam, jika pikiran ini yang di pakai maka saya percaya teman-teman AMAN tidak usah berjuang sampai saat ini, dengan sendirinya masyarakat adat akan muncul dan di akui keberadaannya.

Karena itu, sistem ini yang mesti di rubah, sebab jauh-jauh hari sebelum negara ini lahir, masyarakat adat ini suda ada dan memiliki kearifan dalam penguasaan atas wilayah adat. karena dalam prespektif konstitusi masalah SDA kita bahwa ada pengakuan kostitusioanal SDA di kuasai oleh masyarakat adat.

Terkait hal itu Hendra menilai, “ Putusan MK 35 itu semakin  memperkokoh posisi masyarkat adat dalam sistem hukum indonesia, sebab tafsir ideal dari putusan MK 35 itu menempatkan penguasaan hutan sekaligus dengan tanah, tidak seperti yang di pikirkan oleh pemerintah yang coba memisahkan antara hutan dan tanah”. Ucapnya.

Terkait MK 35 ia mengatakan, amar putusan itu ada 3 kategori hutan, yang pertama hutan negara yaitu hutan yang kuasai oleh negara, yang ke dua hutan subjektif individu atau badan hukum lainnya yang di kuasai oleh individu atau perorangan serta badan hukum, dan ketiga hutan adat yang jelas di kuasasi oleh masyarakat adat.

Sehingga prespektif konstitusional masyarakat adat memiliki legitimasi yang cukup. Baik UUD 1945, putusan MK 35, peranturan mentri kehutanan, mentri sumber daya air juga secara jelas di atur dalam undang-undang desa yang di bahas secara khusus tentang desa adat, cara  kerjanya yaitu pemetataan wilayah adat, wewenang adat dalam pemerintahan, serta perumusan perdes adat. Jelasnya.

Sementara itu, raut dan nada kecewa disampaikan Darwis sala satu Perwakilan masyarakat adat, ia mengatakan kami hanya butu pengakuan dari pemerintah bukan justru menganggap Perda ini sebagai penghambat dalam pembangunan.

“ karena kehadiran masyarakat adat suda ada sejak negara ini ada dan kami telah hidup atas dasar kearifan dalam pengelolaan hutan, kami ingin menjaga dan merawat bumi ini lewat cara kami sendiri yang masih relefan dengan undang-undang dan perkembangan jaman” Ucap Darwis.

Respon juga dari Perwakilan Masyarakat Adat Sagea. Masri Anwar mengatakan, bicara masalah pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat di Halmahera Tengah, merupakan tanggung jawab bersama. Terutama pengambil kebijakan dalam hal ini, pemerintah daerah. Kemudian yang tidak kalah pentingnya, pemerintah juga harus peka terhadap isu-isu masyarakat adat dan lingkungan hidup. Sehingga di harapkan penerapannya harus transparansi, akuntabel, dan politik will.

“ Pengakuan hak-hak masyrakat adat, sebenarnya sudah sangat jelas dalam konstitusi kita. Oleh karena itu,  tidak ada alasan bagi pemerintah daerah untuk menolak perda masyarakat adat”. Tegas Masri

Ia juga mengatakan, Pada konteks ini  kalau kita melirik lebih jauh kabupaten halteng, terjadi tumpang tindi perizinan pertambangan skala masif. “ menurut saya kehadiran perda masyarakat adat ini, merupakan agregasi politik untuk meminimalisir konflik  yang sering terjadi di kawasan hutan masyarakat adat”.Ucap masri. (ADI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *