“Ngos nom pai joo ma boki, ta nim fei fie re birahi tantei” [putri raja siapakah engkau sehingga begitu cantik dan jelita]. Sambil memegang tangan perempuan itu, Mon Takawai bertanya menggunakan bahasa Sawai. Saat itu di gerbang Gua yang dialiri sungai nan jernih.
Dahulu kala, di Pulau Halmahera, orang-orang hidup nomaden. Pola hidup seperti itu karena kebiasaan mereka dalam mencari makan, berburu, mencari damar di tengah hutan belantara, membangun rumah-rumah tanpa sekat di dekat sungai-sungai, berkebun dan melakukan aktivitas untuk kelangsungan kehidupan mereka.
Di tanjung, teluk, muara sungai, bantaran sungai hingga di bukit dan lembah disinggahi. Menapaki jejak hidup. Mereka membangun peradaban di sana. Begitu juga kisah komunitas-suku Sawai yang hidup di teluk Weda, Halmahera Tengah (Halteng).
Dalam sejarah lisan warga Sagea, Halteng, dahulu, hidup sepasang suami istri bersama seorang anak laki-laki yang mulai tumbuh dewasa. Anak ini diberi nama Mon Takawai. Seperti biasa suku-suku Halmahera yang masih nomaden, keluarga ini hiduap di tepian sungai Kobe nan jernih.
Tokoh Pemuda Junaidi Muslim bercerita, Mon Takawai meminta izin kepada orang tuanya untuk mencari daerah baru di bagian utara. Atas izin orang tuanya, Mon Takawai kemudian pergi. Berjalan dan memutuskan mendiami sebuah kawasan di dekat muara sungai nan jernih. Geplun nama kawasan itu. Sungainya luas dan panjang. Lewat cerita yang berkembang, sungai ini diberi nama Dagasuli. Kisah Junaidi seperti yang diceritakan tetua kampung.
Setelah menemukan tempat itu, Mon Takawai kembali lagi di Kobe, dia lalu mengajak orang tuanya untuk pindah dan tinggal di kawasan yang ia temukan. Lewat ceritanya mereka pun pergi di kawasan Geplun, dan hidup menetap di tepian sungai itu.
Suatu hari, Mon Takawai menyusuri tepian Sungai Dagasuli berkeinginan mencari hulu sungai. Setelah cukup jauh perjalanannya, Mon Takawai beristirahat di bawah pohon yang rindang. Cabang pohon itu menjorok ke sungai dengan tali-tali dari pohon bergantungan layaknya ayunan.
Mon Takawai menikmati keindahan alam yang begitu takjub dibuatnya, tiba-tiba dia mendengar samar-samar suara perempuan dari dalam Gua menggema keluar bersamaan air sungai yang mengalir jernih. “Dia [Mon Takawai] pun terkejut mendengar senandung suara itu,” Kata Junaidi, Kepala Pemuda Sagea, yang juga seorang sarjana Ilmu Sejarah.
Pada Selasa, 01 Januari 2019, saya menemui Nenek Saoda (55) yang biasa disapa Nenek Oda, keturunan klan Gelet Geplun. Di Sagea, ada tiga klan yakni, Gelet Geplun, Gelet Somole, dan Sageyen. Dan Nenek Oda salah salah satu keturunan penutur hikayat orang Sagea.
Nenek Oda pun melanjutkan cerita rakyat tentang Mon Takawai.
Mon takwai penasaran, dia pun turun ke tengah sungai. Rasa Penasaran Mon Takwai semakin menjadi-jadi. Ia pun melangkah, turun ke tengah sungai. Tiba-tiba ia terkejut akan sosok yang dilihatnya, seorang perempuan bak bidadari sedang mandi, menghanyutkan tubuhnya dari Gua hingga ke tengah sungai, sambil bersenandung.
Sampai di tengah, perempuan itu berenang lagi, kembali masuk ke dalam Gua yang terbentuk batu cadas yang tinggi dan kokoh. Ia kembali membiarkan tubuhnya di bawah arus hingga ke tepian gundukan batu kali.
Melihat itu, Mon Takawai kemudian mengendap-endap di semak-semak yang tumbuh digundukan di sekitar sungai sambil mengintip gerak-gerik perempuan yang menikmati air nan jernih itu.
Mon Takawai akhirnya keluar dari semak-semak dan mendekati perempuan itu. Mendengar suara semak-semak yang disibak, perempan itu menoleh ke arah semak-semak. Ia perempuan itu pun terkejut, ketika melihat seorang lelaki sedang berjalan kearahnya.
Melihat laki-laki asing itu berjalan ke arahnya, perempuan itu bergegas, berenang semakin jauh ke dalam Gua. Perempuan itu pun menghilang dari pandangan Mon Takawai.
Mon Takawai pun terus berenang hingga ke dalam Gua. Ia melihat pemandangan batu-batu putih yang indah di dalam Gua itu, sambil mencari perempuan itu. Sesekali ia berteriak memanggil perempuan yang belum ia kenali. “Hingga Petang tiba, ia tak berhasil. Mon Takawai pun pulang kembali ke rumah, kembali ke muara sungai Dagasuli,” kata Nene Oda.
Setelah pulang, pikiran Mon Takawai terus dibayang-bayangi oleh kecantikan perempuan itu. Dua hari kemudian, Mon Takawai kembali ke hulu sungai menumpangi perahu. Sambil bersembunyi di dekat gerbang Gua, menunggu penuh harap akan datang perempuan yang dilihatnya dua hari lalu, kembali mandi di sungai. Namun hingga matahari terbenam, si perempuan tak kunjung muncul. Dia pun kembali lagi ke rumah, dilanda kecewa dan semakin gunda.
Semakin penasaran dengan perempuan gua itu, beberapa hari kemudian Mon Takawai kembali ke hulu di dekat gerbang Gua. Sejak pagi Mon Takawai menunggu dengan sabar, dia bertekad harus bertemu kembali perempuan ini, “Apapun resikonya, saya harus bertemu,” kata Mon Takawai dalam hati.
Matahari tepat di atas kepala, Mon Takawai mendengar suara senandung sang perempuan. Mon Takawai menunduk di semak-semak. Di tengah persembunyiannya Mon Takawai memutar otak, mulai menyusun siasat untuk menangkap perempuan ini. Dengan langka perlahan tanpa suara, Mon Takawai menyusuri pinggiran sungai sampai ke dalam gua di antara batu cadas dan turun ke dalam sungai berenang pelan sambil mendekati perempuan tersebut.
Perempuan gua yang sedang asyik menikmati arus sungai yang menghanyutkan tubuhnya tak menyadari kehadiran Mon Takawai. Matanya terpejam menikmati dinginnya air Sungai Dagasuli.
Tiba-tiba perempuan itu merasa ada tangan yang menggenggam pergelangan tangannya. Dia terkejut, dan membuka mata lalu berusaha melepaskan genggaman tangan Mon Takawai.
Perempuan itu pun mendorong tubuh Mon Takawai, namun tangannya tak mampu menandingi Kekuatan Mon Takawai. Sadar bahwa dia tak mungkin lepas dari gengaman lelaki asing ini, dengan wajah ketakutan perempuan itu akhirnya terdiam dan menundukkan wajahnya.
Ketika perempuan itu mulai diam dan tetap menunduk malu ketakutan, Mon Takawai berkata, “Ngos nom pai joo ma boki, ta nim fei fie re birahi tantei” [Putri raja siapakah engkau sehingga begitu cantik dan jelita].
Perempuan ini tidak menjawab, hanya coba berupaya melepaskan diri dari tangan Mon Takawai, gengamannya erat-kuat. Mon Takawai kali ini tak mau gagal. Karena sudah menunggu kehadiran perempuan itu beberapa hari. Melihat perempuan ini terus diam, Mon Takawai kemudian merangkul tubuh perempuan itu, menggendongnya, dinaikkan ke dalam perahu yang telah disiapkan.
“Karena khawatir perempuan melariakan diri, Mon Takawai mengikat tangan perempuan ini dengan kain pengikat kepalanya, keluar menyusuri sungai bersama perempuan hingga ke muara lalu membawanya ke rumah,” ucap Nene Oda.
Orang tua Mon Takawai terkejut melihat anaknya pulang dengan membawa seorang perempuan, merekapun bertanya siapakah gerangan perempuan ini.
Mon Takawai menjawab, “Perempuan ini saya bawa dari sebuah gua di kaki bukit. Tujuh hari lalu dia biarkan tubuhnya hanyut dibawa arus sungai. Saat saya mendekat dia lari dan menghilang di dalam gua, hari ini saya menunggunya dan temukan dia, dan saya mau bawa dia ke hadapan Papa dan Mama.”
Ibu Mon Takawai pun bilang, “Dia sangat cantik, perempuan secantik ini pasti bukan orang sembarangan, Mon Takawai. Kau harus kembalikan perempuan ini ke orang tuanya, kasihan dia.”
“Tidak Mama, saya mau dia jadi istri saya,” jawab Mon Takawai.
Ibunya memandang wajah Mon Takawai sambil tersenyum, dia pun berkata, “Ya sudah, kamu makan dulu nanti ibu yang bicara dengan dia.”
Singkat cerita, kata Nenek Oda, nama perempuan itu Sarimadago. Setelah dibujuk ibunya Mon Takawai, akhirnya Sarimadago bersedia menikahi Mon Takawai. Akhirnya, mereka pun membangun rumah tangga mereka sendiri, lalu hidup di dekat pesisir pantai di muara Sungai Dagasuli.
Beberapa bulan setelah menikah, Mon Takawai mengajak Sarimadago, menyusuri Sungai Dagasuli menggunakan perahu sampan. Setelah tiba di gerbang gua, Sarimadago berkeinginan mengulang kembali kebiasaan mandi sambil menghanyutkan tubuh di depan gerbang Gua.
Mon Takawai berkata kepada istrinya, “Istriku yang cantik laksana putri raja, gerbang gua ini jadi saksi perjuangan cintaku padamu yang biasanya mandi dan menghanyutkkan diri di sungai. Gua ini akan aku beri nama yang melambangkan tingkahmu saat itu.”
“Nama gua ini kuberikan untuk mengenang kisah awal pertemuan kita. Saya namakan gua ini dengan sebutan Gua Boki Moruru (Gua Putri yang menghanyutkan diri),” ucap Mon Takawai, seperti yang ditutur Nene Oda.
Istrinya tersenyum dan mengangguk setuju. Mulai saat itu hingga saat ini, di hulu Sungai Dagasuli itupun dikenal dengan nama Gua Boki Moruru.
***
Cerita lisan ini, telah berkembang turun-temurun. Warga Sagea sudah sebagian besar mendengar cerita Gua Boki Moruru, putri yang menghanyutkan diri. Hingga sekarang, asal muasal perempuan tersebut belum ketahui.
Sumber: Jalamalut.com
Penulis: Supriyadi Sudirman.