Ternate, 10 April 2019. Maluku Utara adalah wilayah kepulauan yang memiliki 395 pulau besar dan kecil dengan total luasan daratan sebesar 3,1 juta hektar. Tercatat ada 313 ijin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai lebih dari 1 juta hektar. Konsesi pertambangan tersebut berada di pulau besar seperti Halmahera dan pulau-pulau kecil, mulai dari pulau Pakal, Mabuli, dan Gee di Halmahera Timur, pulau Gebe di di Halmahera Tengah, dan Pulau Obi di Kabupaten Halmahera Selatan.
Selain izin pertambangan, Maluku Utara tengah berhadapan dengan ekspansi industry kelapa sawit di Gane, Halmahera Selatan, yaitu PT. Korindo melalui anak usahanya PT. GMM, dan Patani (PT. MRS), Halmahera Tengah, serta Hak Penguasaan Hutan (HPH) di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Utara, Halmahera Selatan dan Pulau Obi, juga Hutan Tanaman Industri (HTI).
Keberadaan industri tambang, sawit, dan kehutanan ini telah berdampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan Maluku Utara, mulai dari perampasan lahan, pencemaran air, hilangnya wilayah tangkapan nelayan, kriminalisasi dan intimidasi, termasuk juga deforestasi hutan.
Pesisir dan Pulau-pulau yang dihuni masyarakat seperi Pulau Gebe, Pulau Obi, Pulau Taliabu, Pulau Halmahera, dan pulau tak berpenghuni tapi keberadaanya sangat bermanfaat bagi tempat persinggahan dan wilayah tangkapan nelayan dan ekosistem, menjadi contoh nyata betapa eksploitasi habis-habisan selama ini telah membuat membuat pulau-pulau itu sekarat. Penambangan telah mengupas vegetasi dan membongkar isi perut pulau, sehingga kerusakannya tak hanya wilayah daratan, tapi juga wilayah laut yang rentan tercemar material tambang.
Dalam jangka panjang, pulau-pulau mungil itu bisa lenyap. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2011 menyebutkan sebanyak 28 pulau kecil di Indonesia telah tenggelam dan 24 pulau kecil lainnya terancam melesap. Kajian riset asal Inggris, Verisk Maplecroft, soal dampak perubahan iklim memperkirakan 1.500 pulau kecil di Indonesia akan tenggelam pada 2050 seiring dengan naiknya permukaan air laut.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sudah semestinya menghentikan aktivitas tambang dan mencabut seluruh izin pertambangan, sawit, dan industri kehutanan yang terbukti telah menghancurkan ruang hidup masyarakat.
Sebaliknya, pemerintah wajib mendukung kemandirian masyarakat pesisir dan pulau melalui penyelamatan lahan, air, hutan, dan laut, termasuk juga segera mengeluarkan produk hukum dan kebijakan yang melibatkan masyarakat dan organisasi masyarakat sipil untuk melindungi wilayah pesisir dan pulau kecil dari ekspansi industri ekstraktif.
Pemerintah juga harus segera melakukan langkah penegakan hukum yang tegas dan terbuka atas seluruh pelanggaran yang dilakukan korproasi selama ini, melakukan revisi atas Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang tidak berpihak pada penyelamatan ruang hidup masyarakat, serta segera melakukan pemulihan sosial dan ekologi yang telah terjadi selama ini di Maluku Utara.
Selain itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga mesti turun tangan, mengatasi persoalan keterancaman pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara, yang terus tergerus oleh laju ekspansi industri ekstraktif, dimana pemerintah daerah dan Kementerian ESDM di Jakarta turut andil di dalamnya. (AMAN/JATAM/Walhi)