“ Ada banyak hal di SDA yang berada dalam hutan adat itu harus diselamatkan dalam rangka untuk masa depan bukan persoalan apa-apa tapi, ini merupakan cita-cita dan masa depan bagi sebuah Bangsa”.
Pernyataan itu, disampaikan oleh Dr. Herman Oesman Akademisi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dalam diskusi Refleksi Enam Tahun Putusan MK-35 tentang “Hutan Adat Bukan Hutan Negara” yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN Malut) di Rumah AMAN Malut Jati Kota ternate.
Dalam perjalanannya istilah masyarakat adat masih menuai perdebatan panjang, kita masih terjebak hanya karena istilah. Ada istilah masyarakat adat ada juga masyarakat hukum adat (MHA) sehingga makin jauh untuk memahami substansi dari masyarakat adat itu sendiri. Yang pada akhirnya hak mereka diabaikan. Kata Herman yang juga Doktor Sosiolog itu.
Memahami masyarakat adat kata herman. Saya mau lihat dalam tinjauan sosiologis yang menjadi latar belakang, bahwa ternyata yang kita pahami bukan pada regulasinya semata tetapi ada hal besar dibelakang itu : tentang perebutan dan penguasaan hutan.
Sesungguhnya istilah adat itu sesuatu yang sangat cair, tenang, harmoni, dan konsensus. Bahkan adat itu dipahami sebagai kebiasaan, tradisi, sesuatu yang memang guyub.
Namun, kemudian belakangan ini sejak 1999 istilah adat tiba-tiba menjadi liar dan ganas. Di mana-mana kita dengar soal kekerasan, aktivisme bahkan soal protes dan konflik. Demikian dalam buku yang disunting David Henley dan Jamie S. Davidson, tentang Adat dan Politik di Indonesia.
Jadi, lanjut Herman, tiba-tiba dari hal yang tenang itu masuk hal-hal yang kasar, penuh aktivisme dan konflik, ada perebutan. Beberapa tahun kemudian masyarakat adat itu di akui bahwa memang mereka ada, lalu kita terjebak pada soal etimologis. Bahkan istilah indigeneous people dari Sanders diartikan sebagai masyarakat tradisional.
Terkait dengan putusan MK-35 kata Herman, Kita belum tahu apa maksud negara mengeluarkan putusan untuk mengembalikan ulang hak itu kepada masyarakat adat, tetapi pada satu sisi hadir dilema. Boleh jadi ada pembagian konsesi terhadap lahan-lahan itu atas nama negara dan pembangunan.
Menurut Herman, statemen masyarakat adat tentang “Jika Negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara” saya pikir pernyataan ini bukan pada soal peraturan tetapi pada pengakuan tulus atas hutan itu yang harus diserahkan pada masyarakat adat.
“Saya tidak percaya bahwa di tiap wilayah di indonesia itu dapat mengembalikan ulang Hak masyarakat adat itu, karena boleh jadi hampir sebagian besar elit di daerah boleh jadi memiliki relasi dengan para pemodal”
Dalam konteks petebutan sumber daya alam saat ini, menurutnya, tak boleh dilepaskan dari warisan kolonial. Jadi, perebutan SDA kita mencoba untuk mempraktekkan ulang apa yang telah dilakukan kaum kolonial.
Supriyadi Sawai