Penulias: Herman Oesman (Dosen Sosiologi FISIP UMMU)
Akejira tak sekadar kawasan hutan lindung. Ia adalah penanda, sekaligus kelangsungan kehidupan paru-paru dan jantung bumi Halmahera. Di sana pula, ruang hidup Orang Tobelo Dalam dijalin dan dianyam sejak berpuluh-puluh tahun. Dari generasi ke generasi. Dari waktu ke waktu.
Akejira merupakan titik temu relasi dan interaksi antara manusia dan hutan yang berlangsung secara mutualis. Hutan bukanlah wilayah statis tanpa gerak. Dari hutan adat itu, bumi Halmahera dihidupkan, juga menghidupkan yang lain. Seperti air mengalir, memberi kehidupan. Seperti tanah yang memompakan spirit bagi gerak dinamis masyarakat adat setempat. Kira-kira itulah simbol makna yang dimiliki Akejira.
Namun, tetiba, atas nama pembangunan, kebijakan, dan kesejahteraan kemudian semua itu berubah menjadi “mantra” yang menyengat Akejira. Orang Tobelo Dalam berubah menjadi “yang lain” (the others) bagi tanah mereka sendiri, bagi ruang hidup mereka.
Perlahan, Orang Tobelo Dalam pun tersisihkan dari hutan yang telah mereka jaga, pelihara, dan rawat puluhan tahun lalu.
Kisah Orang Tobelo Dalam yang ter (di)kucilkan dari tanah mereka sendiri, bukanlah kisah baru. Dalam Orang-Orang Kalah (2004), Roem Topatimasang menguraikan, sejak tahun 1970 dan 1980-an, berdasarkan hasil-hasil riset dan pengamatan, komunitas ini selalu terhempas dari tanah sendiri. Kalah oleh “kebijakan tak berpihak” dari segelintir elit yang mengatasnamakan pembangunan dan mantra sakti lainnya.
Sejak tahun 1970-an dan 1980-an itulah, kehidupan tradisional masyarakat Tobelo Dalam di daerah pesisir dan kota-kota sepanjang pantai hampir tak ada lagi. Pun demikian, mata pencaharian dan kehidupan perekonomian Orang Tobelo Dalam tetap terpuruk di hutan-hutan perawan, desa-desa tua. Dengan kata lain, setelah mengalami proses ketercerabutan budaya (cultural disinheritance) yang cukup lama dan panjang, orang-orang Tobelo Dalam kini juga mulai menghadapi suatu proses penyingkiran secara ekonomis (economic marginalization).
Perut Halmahera sejak zaman perdagangan rempah-rempah dan mutiara abad 16, telah menjadi sasaran eksploitatif. Tahun 1970-an hingga awal 1980-an, konsesi-konsesi hutan, HPH mulai menancapkan kukunya di hutan-hutan Halmahera, melakukan penebangan masif untuk mengekspor kayu gelondongan mentah (log).
Pertengahan 1980-an survei sebagai rencana eksploitasi hasil tambang di wilayah Halmahera sudah berlangsung intensif.
Baca Juga: Mengusir Tobelo Dalam
Dalam catatan Topatimasang, wilayah Halmahera Utara dan Tengah (mungkin juga Timur) dalam jangka 5-10 tahun mendatang, akan merupakan zona ekonomi eksklusif yang paling eksklusif di Maluku Utara. Ramalan selintas itu mulai memperlihatkan hasilnya kini, dan makin menjadi-jadi.
Pada sisi yang lain, Orang Tobelo Dalam juga dikonstruk oleh hegemoni negara dengan penamaan yang aneh : Togutil. Suatu nama di mana kelak diketahui, sebagai penyebutan nama yang meragukan dan mengandung banyak celah kontroversi, di mana Orang Tobelo Dalam sendiri, justru enggan menggunakan penyebutan itu. (Topatimasang, 2004).
Pelabelan kepada Orang Tobelo Dalam dengan penyebutan “Togutil” secara simbolik, dapat dibaca sebagai upaya “penyingkiran” secara halus dari ruang hidup (hoana) Orang Tobelo Dalam. Mereka disingkirkan dari hutan-hutan di mana mereka menjaga sumber kehidupan secara tulus. Penyingkiran dari hutan-hutan yang mereka juga tak tahu, bahwa dari perut bumi Halmahera berdenyar sumber daya ekonomi tak terkirakan, yang diperebutkan mereka yang beradab.
Akejira kini berubah. Tak lagi sebagai ruang hidup Orang Tobelo Dalam, yang dengan nyawa dipertahankan. Akejira telah menjadi pertautan kepentingan negara dan pemodal. Jadilah kemudian, Akejira didaku secara sepihak sebagai ikatan “hutan milik bersama”. Dan, ruang hidup itu makin menyempit. Tak hanya traktor yang meraung, segala alat berat lain pun ikut meluluhlantakkan “perut” Akejira sebagai sesuatu yang absah dari klaim “milik bersama”.
Di hari-hari inilah, kita semua yang peduli Akejira dan Orang Tobelo Dalam, menanti hadirnya “kemurahan” penguasa untuk mengembalikan Akejira ke dalam habitatnya, tanpa kekerasan dan dalih apapun, di mana komunitas Orang Tobelo Dalam dapat menikmati kembali kehidupannya dengan damai dan bahagia.
Hutan Akejira, boleh jadi investasi bagi pemerintah daerah yang hanya mengejar keuntungan ekonomi ekstraktif semata. Bukan merawat kelangsungan ruang hidup. Ini memang tragedi dari “kepemilikan bersama” (tragedy of the commons) yang pernah digagas Garett Hardin (1968). Tragedi kepemilikan bersama merupakan tragedi rusaknya lingkungan akibat perilaku eksploitatif berlebihan atas sumber daya alam yang didaulat sebagai milik bersama.
Baca Juga: Hantu Ake Jira
Padahal, telah nyata, sebagaimana Putusan MK No. 35/PPU-X/2012 ditegaskan, hutan adat adalah hutan yang berada di wilayah adat dan bukan lagi Hutan Negara. Dalam Pasal 67 (ayat 1) secara tegas dinyatakan : “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan masyarakat hukum adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU.” Namun, anehnya, pada level daerah, acap kali upaya menindak-lanjuti Putusan MK tersebut justru memperoleh hambatan luar biasa. Penguasa seolah buta atas realitas yang ada.
Orang Tobelo Dalam merupakan warga negara Indonesia, memiliki hak yang sama untuk hidup berbahagia di manapun di belahan negeri ini. Bila meminjam ungkapan Muhammad Hatta tatkala bersama tokoh lain pendiri bangsa ini, pernah menyatakan : “saya hendak mendirikan suatu negara di mana semua orang merasa bahagia.” Atau meminjam ungkapan Ernest Renan yang selalu dikutip Soekarno : “kehendak untuk hidup bersama, itulah bangsa.” Apapun latar sosial, ekonomi, dan politik, asal memiliki kehendak untuk hidup bersama, itu adalah bangsa.
Dan Orang Tobelo Dalam, yang telah menjadi bagian dari bangsa ini, memerlukan perlindungan dan jaminan sosial-politik yang tegas dari pemegang kuasa untuk tetap berdiri tegak di negeri ini. Pengusiran mereka dari ruang hidup merupakan pengkhianatan dari semangat pendiri bangsa ini.
Kita saat ini hidup di era yang menjunjung keadaban. Tapi ternyata lelaku dan kebijakan tak merubah watak ‘jadi lebih beradab’. Kita makin kehilangan nalar etis dan keluhuran cita-cita untuk bersama tatkala berhadapan dengan upaya pengerusan bumi untuk kepentingan ekonomi semata. Sebaliknya, Orang Tobelo Dalam yang selama ini diberi stigma tidak memiliki budaya dan pinggiran, justru memiliki lelaku dan watak yang menjunjung tinggi keadaban.
Dari Orang Tobelo Dalam, kita belajar bagaimana menjaga hutan dan isinya, tanpa merusak sejengkal pun. Dengan kata lain, Orang Tobelo Dalam merupakan penjaga bumi Halmahera. Sebaliknya, elit merupakan perusak bumi Halmahera.
Pada Orang Tobelo Dalam, kita, orang yang mengaku beradab, belajar bagaimana hidup bersama alam dan lingkungan dengan harmoni.
Dari Akejira, tangis Orang Tobelo Dalam terdengar sayup-sayup lirih, memilukan, dan tak dipedulikan. Sementara elit tengah dihadapkan dengan kasus korupsi elit politik dan pejabat, kasus asap, kasus Papua, pindah ibukota, dan jelang pesta politik 2020. Ah.. Akejira, tangis dari rimbamu masih kami dengar…[]
(Tulisan ini perna di muat Malut Post).