Maluku Utara-, Buah pikiran Bapak Bangsa Moh. Hatta tentang Pasal 33 ayat 3 dalam UUD 1945 pada prinsipnya agar bangsa Indonesia benar-benar menikmati kesejahteraan yang menyentuh pada sendi-sendi kehidupan rakyat sehingga sumberdaya alam (SDA) itu benar-benar di nikmati oleh seluruh rakyat Indonesia.
Sayangnya, perjalanan bangsa ini ada tabrakan cara pandang yang jauh berbeda dari cita-cita bapak bangsa kita. Hal itu tentang frasa di kuasai oleh Negara dalam pasal tersebut.
Hendra Kasim Praktisi Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU Malut). Menilai, Pada konteks ini, kalau kita baca posisi maksud itu adalah negara hadir hanya untuk pengelolaan SDA yang dimiliki bangsa indoensia sebesar-besar kemakmuran rakyat.
“ Itu termasuk pula adalah kesempatan mendapatkan lahan untuk berkebun, lingkungan laut yang tidak tercemar akibat aktifitas industri tambang, kesempatan untuk mendapatkan kemampuan hidup di alam ”. Kata Hendra yang juga Direktur Perkumpulan Demokrasi Konstitusional (Pandecta) Malut.
Tetapi pemerintah sering menafsirakan kemakmuran itu dengan ekonomi, dan ekonomi berhubungan dengan investasi. Ucap Hendra sebagai pembicara dalam diskusi akhir tahun tentang “ Eksploitasi SDA dan HAM”, di JMG Koffie Jalan Raya BTN Kota Ternate Malut. Selasa 24 Desember 2019.
Hendra juga menyinggung IUP yang bermasalah. Katanya, IUP baru sering muncul pada momentum menjelang Pilkada, dan setelah Pilkada adalah balas budi karena kampanye dibiayai oleh pemodal. Sehingga pelanggaran HAM dalam sektor SDA itu dimungkinkan. sebab pemerintah bertindak hanya sebagai pengetok palu kebijakan. Tapi tidak menentukan arah kebijakan. Jelasnya.
Saya berkeyakinan bahwa, ini permainan politik Oligarki sehingga semacam ada perselingkuhan antara penguasa dengan pengusaha yang berdampak pada coruption politic.
“ Dampaknya politik balas budi yang merusak jantung sistem pemerintahan juga menyebabkan korupsi, konflik, dan perampasan wilayah adat”. Ucapnya.
Sementara itu, Wartawan Mongabay Indonesia Mahmud Mici mengatakan, eksploitasi sumber daya alam kadang kita abai. Sebagai jurnalis lingkungan ia bilang diskusi ini untuk mengungkapkan problem yang terjadi di lapangan, setidaknya mengingatkan kita bahwa kerusakan lingkungan di negeri pulau ini sebenarnya cukup luar biasa, datang dan lihat saja pulau Halmahera, Obi, Taliabu ke Sanana, ada fakta-fakta yang sebenarnya mencengangkan dan kita luput pada diskursus besar ini.
Malut sebenarnya menjadi episentrum dari sumber daya alam. Pulau kecil ini seharusnya menjadi tempat dan pusat untuk mengkampanyekan upaya penyelamantan sumber daya alam di indonesia.
Di Gane satu investor saja menguasai sekitar 11 ribu hektar, di Wasile sekitar 3000 hektar, ini bar penguasaan lahan berbasis hutan dan perkebunan belum lagi tambang. Yang kalau mau di hitung daratan kita seperduanya untuk investasi berbasis lahan yang dimana ada praktek perampasan ruang hidup dan pelanggaran HAM.
“paling tidak ini sebagai pengingat kita kepada pemerintah bahwa sektor tambang disisi lain sebagai punya nilai ekonomis tapi ada juga kerusakan lingkungan dan perampasan ruang hidup yang masif terjadi sehingga harus menjadi diskursus bersama”. Kata mantan Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ternate yang juga sebagai pembicara.
Sementara, Asghar Saleh, Direktur LSM Rorano Maluku Utara, lewat kesempatan itu mengatakan, ini tidak hanya refleksi, ada juga isu tenaga kerja asing yang begitu banyak masuk di sini, itu juga sangat berdampak di aspek sosial dan ekonomi.
Tentang penyelamatan lingkungan Asghar bilang, awal Januari mungkin aksinya itu bisa melibatkan semua orang. Karena, literasi tentang bahaya tambang belum begitu dominan dalam literasi di malut, peran media masih terkesan membangun negosiasi dengan industri tambang. Soal lingkungan masih minim dari pemberitaan di media.
Ia juga berharap, muda-mudahan tahun depan ini menjadi isu bersama di masyarakat dan mestinya ini menjadi kesadaran bersama. “ Banyak ahli lingkungan yang menyebut kita sejatinya menggali kubur kita sendiri”. Tambahnya.
Ismet Soleman, pegiat lingkungan Malut. Mengatakan, SDA yang ada hari ini bukan hanya untuk kita tapi juga untuk generasi akan datang. Luas Malut daratannya 27,2% sisanya laut. Nah, pernah tidak di Malut, membicarakan pendapatan hasil tani kita.
Padahal potensi tani kita melimpah, Ismet juga bilang, hasil petani cengkeh yang di Kalaodi Tidore saja jika musim panen Cengkeh ada perputaran uang hingga mencapai 11 Miliar lebih.
Jadi, dari hasil itu sebenarnya apakah kita butuh tambang atau apa, dalam konteks lingkungan. Itu baru satu komoditas yang ada di Tidore belum yang lain. “ Kedepan kita perlu membangun sayap ekonomi sebagai antitesa”. Harapnya.
Diskusi ini di hadiri berbagai pimpinan organisasi kemahasiswaan, dalam diskusi ini menguat juga dugaan keterlibatan para akademisi yang di nilai secara tidak langsung turut memberikan kontribusi kerusakan lingkungan lewat keterlibatannya dalam penyusunan AMDAL. (Adi)