HUTAN ADAT

HASIL Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Hutan Adat yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada Januari 2018 di Jakarta, merekomendasikan percepatan Hutan Adat dalam program Perhutanan Sosial (PS). Maluku Utara sendiri terdapat 18 lokasi Hutan Adat yang diusulkan, yakni 10 di Halmahera Utara, 4 di Halmahera Tengah, 2 di Halmahera Timur dan 2 di Halmahera Selatan. Namun tidak menutup kemungkinan akan muncul lokasi lain diluar dari rekomendasi yang ditetapkan pada Rakornas tersebut sepanjang masyarakat adat telah memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Permen LHK Nomor 32/2015 tentang Hutan Hak.

Rakornas Hutan Adat ini ditindaklanjuti oleh Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Maluku–Papua melalui pertemuan para pihak pada bulan April 2018 dengan merekomendasikan 7 lokasi Hutan Adat yang telah selesai pemetaan yang menjadi prioritas pertama, yakni komunitas masyarakat adat Fritu, Banemo dan Kobe di Halmahera Tengah, komunitas masyarakat adat Dodaga di Halmahera Timur, komunitas masyarakat adat Pagu di Halmahera Utara dan komunitas masyarakat adat Gane Dalam dan Gane Luar di Halmahera Selatan. Sementara untuk 11 lokasi lainnya akan menjadi prioritas kedua. AMAN memiliki kewajiban untuk memfasilitasi pemetaan pada lokasi-lokasi yang menjadi target berikut.

Implementasi MK 35
Hutan Adat merupakan wujud dari pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang meninjau UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Putusan ini merubah struktur penguasaan hutan yang menempatkan Hutan Adat sebagai bagian dari hutan negara. Hasil //Judicial Review //(JR) MK, terutama pasal 1 ayat (6) mengubah frasa tersebut di atas dan menempatkan Hutan Adat sebagai hutan hak yang terpisah dari hutan negara. Dengan demikian Hutan Adat menjadi milik masyarakat adat sebagai subjek hukum yang diakui secara konstitusional. Di luar dari Hutan Adat tersebut baru dapat dikategorikan sebagai hutan negara. Namun untuk memperoleh kembali Hutan Adat tersebut, pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan, subjek hukum masyarakat adat harus terlebih dahulu diakui melalui Peraturan Daerah (Perda).

Program Perhutanan Sosial yang diatur dalam Permen LHK Nomor: 83/2016 menempatkan Hutan Adat sebagai bagian dari skema bersama dengan skema lainnya seperti Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Kemitraan Kehutanan. Hutan Adat merupakan bentuk pengakuan (rekognisi) yang dimiliki secara turun-temurun oleh masyarakat adat tersebut sehingga berbeda dengan skema lain pada program PS yang menggunakan Hak Pengelolaan (HP) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUP-HHK) berdasarkan status yang melekat pada hutan. Skema PS diluar dari Hutan Adat adalah bentuk dari pemanfaatan kelompok masyarakat terhadap hutan negara, sehingga dilengkapi dengan batasan waktu dalam pemanfaatan hutan.

Baca Juga: Bendera RRC dan Kedaulatan yang Hilang

Hutan Adat maupun skema lain dalam PS ini sebenarnya tujuannya sangat mulia karena dalam rangka menyelesaikan permasalahan tenurial yang menghambat masyarakat adat maupun kelompok masyarakat lain mendapatkan kembali haknya maupun mengelola hutan untuk peningkatan kesejahteraan hidup dan menjaga keseimbangan lingkungan. Jalan keluar ini harus dipergunakan untuk menjawab permasalahan tenurial yang menjadi salah satu problem saat ini. Termasuk dengan mengembalikan Hutan Adat kepada masyarakat adat.

Problem Ketimpangan Tenurial dan Jalan Keluar
Ketimpangan tenurial di Maluku Utara lebih banyak merugikan masyarakat adat dan masyarakat lokal. Bagaimana tidak, 46 persen atau 1,4 juta hektar dari 3,1 juta hektar luas daratan Maluku Utara telah di alih fungsi untuk konsesi di berbagai sektor, yakni Tambang, HPH, HTI, Perkebunan Sawit, dll. Sementara hanya 4 persen dari total luas hutan yang diperuntukan untuk masyarakat melalui PS, (baca: Riset FWI 2018). Akibat dari kebijakan yang lebih berpihak pada eksploitasi sumberdaya alam tersebut, Maluku Utara termasuk daerah dengan laju deforestasi cukup tinggi, 52 ribu hektar/tahun. Deforestasi tersebut telah menjadi ancaman serius terhadap keselamatan masyarakat dan ekosistem yang hidup di wilayah ini.

Potensi konflik pada sektor ini juga cukup tinggi. BPSKL mencatat untuk wilayah Maluku (termasuk Maluku Utara) dan Papua, potensi Konflik tenurial di kehutanan mencapai 1,4 juta hektar. Salah satu penyebab konflik tersebut terjadi karena status kawasan hutan yang tidak memiliki kekuatan hukum. Kawasan hutan di Maluku Utara sebagaimana diatur dalam SK Menhut 302/2013 seluas 2,5 juta hektar namun sebagian besar masih berstatus penunjukan. Status penunjukan sendiri sebenarnya belum memiliki kekuatan hukum tetap. Status tersebut membuat kawasan hutan menjadi rentan menimbulkan Konflik akibat dari tumpang tindih dengan hak-hak masyarakat adat yang dimasukan sebagai bagian dari kawasan hutan negara. Termasuk juga berbagai perkampungan pun masuk dalam status kawasan hutan. Hal tersebut membuat akses masyarakat adat dalam melakukan aktivitas keseharian mereka yang berhubungan langsung dengan hutan tersebut terbatasi.

Di beberapa lokasi, AMAN mencatat terjadi kasus kriminalisasi yang dilakukan negara kepada masyarakat adat dikarenakan masyarakat adat melakukan kegiatan tradisional mereka di dalam kawasan hutan negara. Penguasaan hutan sepihak oleh negara ini berimplikasi menimbulkan masalah yang berkepanjangan, termasuk menghalangi masyarakat adat membangun kembali hubungan mereka dengan haknya. Padahal Hutan Adat menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat adat itu sendiri.

Pemerintah Daerah Proaktif
Perhutanan Sosial membuka ruang untuk menjawab problem ketimpangan tenurial kawasan hutan tersebut. Terutama Hutan Adat yang bentuk kepemilikannya bersifat turun-temurun tanpa batasan waktu. Memang jalur Hutan Adat ini berbeda dengan skema lain yang menggunakan Hak Pengelolaan (HP) dan Izin Usaha Pemanfaatan (IUP) yang prosesnya lebih cepat dari Hutan Adat yang harus terlebih dahulu subjek hukum atau masyarakat adat diakui melalui Perda. Di sinilah letak tugas pemerintah daerah untuk mempercepat proses pengakuan masyarakat adat sebagai pelaksanaan atas putusan MK 35. Tahun 2015 Pemkab Halmahera Utara mengeluarkan SK penetapan masyarakat adat Hibualamo. Sementara tahun ini ada inisiatif dari Pemkab Halmahera Tengah dengan mendorong Perda Masyarakat Adat dalam Prolegda 2018. Jika Perda tersebut disahkan tahun ini, tentu merupakan satu langkah maju bagi masyarakat adat di Halmahera Tengah untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka. Artinya proses mendorong 3 lokasi Hutan Adat dapat segera dilegalisasi oleh Menteri LHK.

Namun satu sisi untuk mendapatkan pengakuan melalui Perda ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, butuh proses panjang dan benar-benar meyakinkan pemerintah daerah terhadap urgensi Perda tersebut semata-mata untuk menjawab problem yang dihadapi masyarakat adat. Di banyak daerah di luar Maluku Utara, telah banyak inisiatif Perda yang mengakui keberadaan masyarakat adat. Ini dikarenakan kesadaran pemerintah setempat bahwa masyarakat adat adalah rakyat mereka sendiri, makin lambat mereka diakui makin meluas masalah yang mereka hadapi dengan demikian beban pemerintah menyelesaikan masalah tersebut juga makin berat. Pengakuan masyarakat adat melalui Perda merupakan jalan konstitusional yang ditegaskan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana negara mengakui dan menghormati masyarakat adat beserta hak-hak tradisionalnya. Yang lebih terpenting lagi pengakuan tersebut untuk menuntaskan masalah ketimpangan tenurial serta membuka kembali akses masyarakat adat terhadap hak mereka yakni Hutan Adat demi terciptanya kehidupan masyarakat adat yang lebih baik. Namun semua itu dapat tercapai jika pemerintah daerah dapat mengambil inisiatif untuk mempercepat pengakuan masyarakat adat melalui Perda. (*)

Penulis: Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara.

Sumber: http://news.malutpost.co.id/index.php/read/2018/05/09/13/2884/hutan-adat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *