Puluhan Jenis Keanekaragaman Hayati di Fritu Terancam Punah

FGD yang berlangsung di Rumah Warga, Inventarisasi sumberdaya alam hayati dipimpin oleh Ketua AMAN

Fritu – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara bersama masyarakat adat Fritu melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk inventarisasi potensi keanekaragaman hayati yang ada di wilayah adat Fritu. Dari proses inventarisasi tersebut ditemukan beragam jenis keanekaragaman hayati yang terancam punah. Jenis tersebut antara lain, burung dan mamalia, tumbuh-tumbuhan dan hasil hutan kayu dan non kayu.

“Wilayah adat ini sebenarnya jadi rumah bagi beragam jenis keanekaragaman hayati, namun sayangnya sebagian diantaranya terancam punah akibat karena pemanfaatan yang berlebihan”. Kata Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Maluku Utara, pada saat memfasilitasi FGD di rumah salah satu warga Fritu. Selasa,28 Februari 2017.

“Kalau kita tidak inventarisasi pasti kita tidak tau apa potensi yang ada di dalam wilayah adat ini dan bagaimana statusnya. Kan tujuan kita wilayah adat dan potensinya harus dilindungi, makanya dengan ini akan jadi rujukan apa saja yang akan kita lindungi”.  Ucapnya.

Dari proses inventarisasi tersebut ditemukan keanekaragaman hayati jenis burung dan mamalia kurang lebih 43 jenis yang terancam punah 12 jenis, sementara jenis tumbuh-tumbuhan ada 69 jenis yang terancam punah 10 jenis, dan hasil hutan kayu dan non kayu 49 jenis yang terancam punah 25 jenis.

Ancaman kepunahan terjadi karena pemanfaatan yang berlebihan, misalnya hasil hutan kayu miranti, terancam punah karena masuknya perusahan kayu beberapa tahun lalu di wilayah tersebut. Saat ini jenis kayu miranti sudah jarang ditemukan warga, sehingga untuk kebutuhan bahan bangunan di kampung warga harus mencari di tempat yang cukup jauh.

Beberapa tahun belakangan kebiasaan menangkap burung pun sudah tidak dilakukan warga karena kesadaran mereka jenis tersebut adalah bagian dari kekayaan wilayah adat.

“Sekarang sudah jarang lihat orang tangkap burung Nuri dan Kakatua untuk jual atau piara, tapi sekarang kalau ke kebun torang sudah susah dengar suara burung Nuri” kata Bernat Cino, salah satu warga setempat.

Upaya menjaga kekayaan tersebut warga mendorong supaya pemerintah desa bisa melindungi melalui kebijakan di desa yang melarang pembangilan potensi keanekaragaman hayati tersebut secara berlebihan, termasuk mempercepat peraturan desa tentang tata ruang wilayah adat. Hal ini menurut mereka sebagai cara mengendalikan dampak kerusakan ekosistem di wilayah adat.

“Warga harus sadar jangan sampai sudah habis baru sadar, begitu juga pemerintah desa harus bikin kebijakan melindungi torang pe harta ini. Saya berharap peraturan desa tentang tata ruang itu segera dibuat untuk respon masalah ini” kata Arkipus Kore, warga setempat.

Sebagai wilayah yang masuk dalam kawasan Wallacea dengan potensi keanekaragam hayati yang tinggi, keberadaan hutan ini sangat penting. Makanya Fritu sebagai wilayah Key Biodiversity Area (KBA) menjadi perhatian dari Critical Ekosistem Patnership Fund (CEPF) bersama dengan Burung Indonesia dan AMAN mendorong supaya kawasan ini harus terlindungi dari ancaman kerusakan. Dukungan kepada AMAN untuk mendorong perlindungan kawasan KBA ini melalui tata ruang wilayah adat. (Tim AMAN).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *