Suku Tobelo Dalam tersebar menjadi 21 kelompok yang mendiami belantara hutan Halmahera. Mereka hidup dengan alam dan menjadikan hutan sebagai mata rantai untuk menjaga kelangsungan hidup dari waktu ke waktu.
Antara satu kelompok dengan kelompok lain saling menghargai, tidak saling merebut wilayah yang telah dikuasai oleh kelompok lain. Bagi yang tidak menghargai dan melanggar batas yang sudah disepakati, hukumnya bisa dibunuh.
Seperti hal di wilayah Wayamli kecamatan Maba Tengah, Halmahera Timur. Disitu hidup satu kelompok Suku Tobelo Dalam, tempat mereka tinggal disebutnya Babasaram yang kini sudah di rubah menjadi kawasan transmigrasi.
Jauh sebelumnya di wilayah tersebut mereka hidup damai, tanpa gangguan dari pihak luar. Namun semenjak program transmigrasi masuk perlahan-lahan kelompok ini mulai merasa terusik.
Lahan perkebunan mereka dirubah fungsinya jadi sawah, hutan adat dibabat selain perluasan transmigrasi juga ditebang orang-orang tertentu yang berasal dari luar. Bunyian sengsor akibat aktifitas penebangan kayu tersebut juga mempengaruhi kenyamanan anggota kelompok ini.
Pada saat melakukan kunjungan Minggu, (01/04/2018). Ketua AMAN Halmahera Timur Udi Abubakar sempat bertemu dengan kepala suku kelompok Tobelo Dalam setempat Elisya Urgares (40).
Dalam pertemuan tersebut kepala suku menyampaikan jauh sebelum transmigrasi di Babasaram ini hadir mereka telah hidup di wilayah tersebut, bahkan sudah ratusan tahun lamanya sejak moyang Tobelo Dalam yang memberi marga kepada mereka.
“Nama moyang torang itu yang saat ini torang jadikan marga mulai dari orang tua sampe anak cucu dan seterusnya,” ucap Elisya
“Torang juga dibesarkan di air Dodali yang artinya air tempat torang dilahirkan sampai torang tumbuh besar. Disini torang pe leluhur secara turun-temurun dorang hidup sampai generasi torang ini,” lanjut Elisya
Ia pun menyebut satu persatu nama-nama tempat yang diberi nama oleh moyang mereka seperti, Moolom, Dubaleem Pakkor dan Gebe. Wilayah tersebut terus dijaga karena menjadi tempat tinggal mereka dari dulu hingga sekarang.
Elisya yang mewarisi jabatan kepala suku dari almarhum bapaknya Urgares mengatakan mereka disini hidup berdampingan dan saling menghargai antar sesama.
Tapi sejak masuknya transmigrasi maupun keberadaan dua anak perusahan PT Barito Pacifik Timber Group yakni PT Tunggal Agathis Unit I (Taiwi Unit I) dengan SK.368/Menhut-II/2009 untuk pemanfaatan Hutan Alam (HA) yang menguasai hutan seluas 73.375 hektar, juga PT Kirana Cakrawala dengan SK.184/Kpts-II/1997 untuk pemanfaatan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang menguasai hutan seluas 21.265 hektar.
Kehadiran perusahan tersebut menyababkan kehidupan orang Tobelo Dalam mulai terganggu. Sumber makanan pun mulai berkurang.
Hal demikian menyebabkan sebagian dari mereka terpaksa menyebar ke wilayah yang sedikit jauh untuk mencari tempat dengan sumber makanan yang tersedia. Dulu, kata Elisya, tempat ini jadi sumber makanan, namun sekarang sudah berkurang.
“Sebelumnya disini ada 35 Kepala Keluarga (KK), tapi sekarang tinggal 12 KK saja. Sebagian sudah pindah ke lokasi Mawawas Miaf,” tutup Elisya.
Supriyadi Sawai
1 thoughts on “Tobelo Dalam Terusir dari Tanah Moyang”