“Masyarakat harus membentuk simpul kekuatan agar bisa merai ulang kondisi dimana tanah dan hutan serta hak-hak mereka harus menjadi bagian dari subjek hukum karena dalam kajian tertentu berjalannya waktu hak masyarakat adat itu ternyata suda dihempas dan dirampas oleh negara.”
Hal tersebut disampaikan oleh pembicara Dr. Herman Oesman akademisi Sosiologi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dalam diskusi Refleksi Enam Tahun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 atau MK 35 tentang “Hutan Adat Bukan Hutan Negara” yang digelar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN Malut) di Rumah AMAN Malut Kel. Jati, Kota Ternate. Senin, 20/05/2019.
Diskusi ini juga turut menghadirkan pembicara praktisi Hukum Universitas Muhammadiyah Hendra Kasim dan Ketua Badan Pengurus harian (BPH) Wilayah AMAN Malut Munadi Kilkoda, dihadiri juga kalangan Jurnalis, akademisi, aktivis LSM, penggiat desa juga organisasi kemahasiswaan.
Lebih jauh Herman menjelaskan sejarah panjang perebutan sumberdaya alam ini memang sejak zaman kolonial. Bahkan dimasa pra kolonial sudah muncul perebutan sumberdaya alam. Sementara kata dia dalam beberapa studi istilah masyarakat adat dan sistem tenurial merujuk pada hubungan sosial lembaga yang mengatur akses dan tata guna lahan.
Artinya menurut dia, lahan dan sumberdaya alam itu adalah kepemilikan masyarakat adat yang harus dikelola untuk kepentingan mereka, tapi kemudian kehadiran negara mengunci akses untuk pemanfaatan sumberdaya alam itu secara berkelanjutan.
“jadi perebutan sumber daya alam di negara ini, itu warisan kolonial yang kita ulangi”
“sementara masyarakat adat diakui dalam konstitusi sehingga putusan MK 35 menegaskan masyarakat adat berhak atas tanah dan hutan”
Herman menyayangkan sejauh ini masih ada keragu-raguan pemerintah Kab/Kota untuk mengembalikan hak masyarakat adat, padahal ini sudah dipertinhkan.
“Jangan-jangan terhambat Putusan MK 35 ini karena permainan mata kepala daerah dengan pemodal,”
Sementara pandangan Hendra Kasim jelas bahwa putusan MK ini yang berdasarkan amanah konstitusi itu bersifat final and binding. Putusan ini menegaskan bahwa eksistensi masyarakat hukum adat mendapatkan tempat dalam sistem hukum positif Indonesia tidak terkecuali ihwal mengenai hutan adat.
Lahirnya MK-35 ini karena atas rujukan pasal 18 ayat (2) UUD 1945. Disana ditegaskan negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat sebagai pemegang kedaulatan atas hak-haknya. Juga ditafsir sebagai pengakuan negara atas keberadaan masyarakat hukum adat yang telah eksis jauh sebelum negara dibincangkan.
“Jadi putusan MK 35 dengan tegas memerintahkan hutan negara dikeluarkan dari hutan adat, karena dengan menggabungkan hutan negara ke dalam hutan adat itu inskonstitusional,” kata Hendra
Hendra juga menitip harapan pemerintah daerah di Maluku Utara bisa merespon putusan MK 35 yang memerintahkan mereka untuk melahirkan produk hukum berupa peraturan daerah.
“Saya punya harapan di Halmahera Tengah dapat segera memiliki perda itu”
Sementara menurut Munadi Kilkoda, jika pemerintah pahami, putusan MK 35 membantu mereka untuk menyelesaikan problem hak yang selama ini terus dipertentangkan. “Sayangnya kelihatan mereka tidak komitmen kesitu”
6 tahun setelah putusan ini keluar belum ada satu pemerintah di Maluku Utara yang mengeluarkan perda masyarakat adat.
“Dulu ada kepala daerah yang bilang putusan MK 35 ini tidak berlaku di Maluku Utara, ada yang bilang nanti menghalangi tambang”
Jadi menurut dia, kepentingan melindungi investasi lebih besar dibandingkan melindungi hak-hak rakyatnya yang hidup di wilayah tersebut. Munadi berharap tahun ini pemerintah kabupaten Halmahera Tengah segera mengesahkan perda masyarakat adat.
Supriyadi Sawai