Di Semiloka Perda Masyarakat Adat, AMAN dan Akademisi Pertanyakan Komitmen Politik DPRD dan Pemkab Halteng

Munadi Kilkoda (Tengah), saat menjelaskan dasar Hukum Perda PPHMA bahwa perda ini penting untuk keberlanjutan masyarakat Adat di Halmahera Tengah. (Dok AMAN).

WEDA- Sudah hampir setengah dekade Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) di Halmahera Tengah berproses, namun belum juga disahkan oleh Pemerintah setempat. Padahal sejak 2015 sampai 2019 Ranperda ini masuk dalam Program Legislasi Daerah (Prolegda) baik melalui inisiatif DPRD maupun Pemda.

“Substansinya sudah tidak masalah karena sudah dibahas ulang-ulang dengan Pemda dan DPRD, tinggal saja komitmen politik kedua belah pihak untuk segera menuntaskan ini,” ungkap Munadi Kilkoda, Ketua AMAN Malut pada saat menyampaikan materi di Semiloka Ranperda PPHMA, Rabu 10/07/19, yang dilaksanakan di Ruang Rapat Wakil Bupati Halteng.

Semiloka tersebut dihadiri Tim Eksekutif Pemkab Halteng, Bapemperda DPRD Halteng dan perwakilan Ormas.

Asisten I Bupati Halteng, Rustam menjelaskan sebagai pihak pengusul, Pemkab pada prinsipnya melihat Ranperda ini sudah tidak masalah, namun DPRD masih meminta untuk dipelajari kembali sebelum disahkan.

“Kami pada prinsipnya menunggu undangan pembahasan dari Bapemperda” kata beliau.

Sementara Hamlan Kamaludin, anggota Bapemperda mengatakan selama proses pemahasan, dirinya yang paling banyak kritisi terkait dengan beberapa pasal dalam draf yang diajukan. Sebab menurutnya perda ini harus berdasarkan pada kajian historis, filosofis maupun yuridis.

“Kita harus mengacu pada sejarah negeri ini dimana sudah ada pengakuan masyarakat hukum adat tentang hak wilayah adat Sangaji Patani, Sangaji Weda, Sangaji Maba”

Menurut dia perjalanan adat di negeri ini harus dihubungkan dengan keberadaan adat yang dimana di dalamnya berada dibawa Kesultanan Tidore. Ada keterkaitan sejarah yang tidak bisa dipisahkan. Namun pada prinsipnya menurut dia, selaku anak negeri mendukung Perda ini disahkan.

“Saya pada intinya setuju dengan Perda ini, namun kita perlu membahas pasal-pasal di dalamnya yang belum jelas” kata Hamlan.

Hamlan juga mempertanyakan pasal-pasal yang menurutnya perlu dibahas ulang. Misalnya desa adat, penyelesaian sengketa, kewenangan pemerintah daerah.

Munadi mengatakan pasal yang mengatur desa adat itu adalah pilihan kepada masyarakat adat yang Pnu (Kampung) di Halmahera Tengah. “Jika ada yang mau dirubah jadi desa adat, mereka bisa mengajukan ke Pemkab untuk di Perdakan. Jadi itu tidak masalah”

Sementara yang dipertanyakan DPRD pada pembahasan beberapa waktu lalu sebenarnya kata Munadi sudah dijelaskan pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan AMAN dua tahun lalu. Jadi sebenarnya sudah selesai dijabarkan dalam Naskah Akademiknya maupun Pasal-Pasal dan penjelasannya.

Lebih jauh beliau menyampaikan, Ranperda ini awalnya bersifat Pengaturan sekaligus Penetapan untuk komunitas masyarakat adat yang telah memenuhi syarat. Namun dari kompromi dengan DPRD waktu itu, melahirkan kesepakatan Ranperda ini hanya bersifat Pedoman Pengakuan dan Perlindungan, sementara Penetapan nanti dilakukan dengan Surat Keputusan (SK) Bupati. Bupati akan membentuk Panitia Masyarakat Adat yang tugasnya melakukan identifikasi, verifikasi serta mengeluarkan rekomendasi agar Bupati dapat mengeluarkan SK penetapan.

“Siapa masyarakat adat itu, nanti terjawab lewat proses yang dilakukan panitia.”

Munadi mendorong DPRD melakukan satu kali pertemuan yang melibatkan AMAN, Tim Pemkab dan Kampus untuk diskusi ulang. “Saya titip kepada Pak Hamlan untuk membicarakan hal ini kembali dengan anggota Bapemperda supaya kita bisa diskusi lagi. Kaitan pasal-pasal yang dipertanyakan DPRD, lewat diskusi itu kita bisa bahas satu persatu” tutup Munadi

Hendra Kasim, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara yang ikut memberi materi pada semiloka tersebut menjelaskan setelah amandemen UUD 1945, Konstitusi telah menjamin eksistensi masyarakat adat dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pengakuan konstitusi tersebut merupakan landasan konstitusional bagi Masyarakat Adat di Indonesia.

“Pilihan kalimat yang digunakan Negara Mengakui dan Menghormati dalam konstitusi adalah tafsir gramatikal Negara menempatkan masyarakat adat sebagai pemegang kedaulatan atas hak-haknya. Tafsir itu sebagai pengakuan negara atas keberadaan masyarakat adat yang telah eksis jauh sebelum Negara dibentuk,” ucap Hendra.

Pasal itu ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 tentang hutan adat yang sebelumnya sebagai hutan negara.

Pihak yang paling risih dengan perjuangan masyarakat adat kata Hendra adalah para pengusaha besar yang membutuhkan lahan dan hutan, seperti pertambangan dan perkebunan sawit.

“Kita sering temukan di lapangan, dalam membela haknya, masyarakat adat harus berhadapan dengan pengusaha yang berselingkuh dengan penguasa”

Hendra juga mengatakan keberadaan masyarakat adat bukanlah kehendak konstitusi namun kehendak sejarah bangsa. Masyarakat adat dalam konstitusi bukanlah sumber pemberian negara namun pengakuan negara terhadap keberadaan kesatuan Masyarakat Adat.

“Pemerintah tidak terkecuali harus melakukan pemenuhan hak masyarakat adat. Jika ada sikap pemerintah yang tidak berpihak kepada masyarakat adat, sikap tersebut in-konstitusional” tegas Hendra Kasim, (Adi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *