Penulis: dr. Fatir M. Natsir
2018, di atas kapal KM Sinabung, menemani ku Ambon, seorang penumpang paruh baya duduk bersahaja menemaniku mengisahkan pengalaman hidupnya sepanjang perjalanannya ke Ambon. Kisahnya membuatku terpesona untuk kukisahkan di tulisan ini. Diskusi kami soal eksploitasi alam di gunung botak mengkerucut hingga ke Meepago dan Dageuwo (Nabire) pulau Papua.
Di sana, ia kisah beberapa masyarakatnya yang masih meyakini hutan senantiasa dilindungi oleh para penunggu roh halus, hantu itu bahkan tak segan mengancam mereka yang lancang melakukan pertambangan di sana tanpa ada izin roh / penunggu setempat.
Sesekali ia mengkomparasi tentang kisah di Skamto di kabupaten Keerom Provinsi Papua yang harus mengedepan sesembahan untuk menghormati para penunggu roh di sana, darah kepala hewan pun wajib dicipratkan ke setiap permukaan transportasi alat berat (Doser dll) sebelum melakukan aktifitas tambang. Hantu seolah tak lepas dari mistisisme pertambangan. Bahkan penyakit dan kematian dicap sebagai kutukan atas ketidakharmonisan manusia dengan mereka selaku wali alam. Mistisisme memang adalah hal yang kaku bagi saya sebab jarang dialektika itu hadir di bangku kuliah. Sulit untuk dijelaskan secara fisika.
Pemburu hantu
Berbeda di Halmahera, para kapital pertambangan di Maluku Utara seolah kebal dengan mistisisme. Revolusi Industri dan jaminan kejehateraan oleh kapital telah merubah watak mereka. Warisan budaya, Nasionalisme, Primordialisme, dan ekologi seperti tak ada lagi di girus-girus kepala. Sebaliknya, yang menyeramkan mereka memburu para hantu. Hantu sudah menjadi sandi pertambangan dalam semangat mereka mengeksplorasi hutan di sana demi suatu tujuan yang sangat misteri untuk dicari. Lalu mengapa mereka memburu Hantu ?
Di Halmahera, Deforestasi (pengurangan hutan) dilakukan demi kepentingan perusahaan kayu dan tambang, berapa ribu tanaman obat asli endemik Halmahera dan flora-faunanya harus ikut jadi korban dampak kerusakan hutan di sana, ini awal polemik kisruh kelompok Farmasi dan pertambangan dunia hingga lokal yang tak pernah naik di permukaan. Halmahera kian menjadi korban objek penguasaan lahan yang ekologinya kian yang diabaikan negara dengan dalil pengelolaan sumber daya alam demi kepentingan negara dan pasar itu sendiri. Mistisime Hantu seolah tak lagi ada kabarnya.
Usai merimbas sebagian hutan dan mencemari lingkungan laut bahkan darat, beberapa perusahaan Tambang di Maluku Utara merubah kiblat eksplorasinya ke Ake Jira. Kawasan yang merupakan wadah mata air alam yang mengaliri beberapa sungai di Halmahera. Ake jira tak hanya bertanggung-jawab menghidupi masyarakat adat Tobelo dalam lewat tiap nadi airnya, tapi semua flora dan fauna di atas tanah Halmahera yang belum sepenuhnya dipelajari oleh kita di masa depannya. Kita justru gagal memenuhi harapan Wallace di masa lalu, soalnya pentingnya pengetahuan ekologi dan peradabannya.
Baca Juga: Press Release, Respon Kasus Tobelo Dalam Akejira
Apa sebenarnya yang membuat Wallace kagum ? Tentu ia berpikir bagaimana bisa hutan kecil ini (Halmahera) melahirkan keanekaragaman hayati di sana. Wallace kian dekat dengan kesadaran kosmologi, seolah ia sadar bahwa ada suatu Kuasa yang menciptakan hutan sebagai rahim, rumah bagi embrio ciptaanNya di sana, sebaliknya, kita merusakinya. Dunia kita sebenarnya tak seimbang, sebab Manusia telah memilih keluar dari ekosistem itu. Sedang mereka yang sadar tetap memilih hutan sebagai tempat ekosistemnya.
Akejira bukan hanya soal dialektika dan paradigma sosiologi semata, tapi juga ekologi. Jaminan masa depan peradaban patut punya opsi dan solusi dalam memutuskan masa depan kelangsungan hayati di garis peradaban Wallacea itu. Se-rasional apapun pihak kapital pertambangan, Bank dunia, bahkan pemerintah merasionalkan pentingnya eksplorasi sumber daya alam demi kesejahteraan manusia, semua sepakat bahwa harus ada yang dikorbankan, mereka yang pecundang dengan suara pelan mengatakan bahwa tentu korban itu adalah lingkungan dan ekosistemnya. Meski membela diri bahwa ‘Masyarakat kita nomaden’, itu benar, tapi ‘air tak pernah mencari manusia’.
Ketika dibukanya akses jalan dan rencana pertambangan di Ake Jira tentu rencana masa depan eksplorasi dan eksploitasi hutan dan hasil alam itu siap meluluh lantahkan keseimbangan Ekologi dan peradaban umat manusia di sana.
Pencemaran laut di Halmahera Timur oleh beberapa perusahaan tambang seharusnya menjadi pencerah bagi kita bahwa betapa tingginya dampak kerusakan alam akibat peran pertambangan. Lihatlah pula bagaimana Debu Nikel berterbangan di Gebe menunjukkan toksiknya udara di sana, matinya perkembangan karang akibat rembesan limbah sudah membuktikan kiamat lingkungan membayangi kita di masa depannya.
Deforestasi adalah langkah awal yang dilakukan oleh perusahaan tambang agar memenuhi pembangunan bangunan pendukung kerja. Hal itu tentu mengusik ekologi alam karena aktifitas mesin dan pengurangan pohon mengakibatkan kebisingan (gangguan frekuensi fisiologis) dan berkurangnya ruang serapan air pada suatu wilayah, terlebih dampak manusia terhadap efek karsinogenik (Pemicu kanker) oleh limbah buangan yang dianggap sepele.
Harga sebuah jiwa
Harga sebuah Ake Jira setara dengan jiwa umat manusia, Ake Jira bertanggung jawab terhadap peradaban manusia Halmahera yang memahami modal alam untuk kelangsungan kehidupan. Obat, makanan, pengetahuan, keyakinan, ruang hidup dan makhluknya adalah suatu kesatuan modal peradaban dan kekayaan suatu bangsa yang tak bisa dilepas pisahkan. James Cameron lewat Film Avatar (2009) sedikit membuka nalar kita soal perbedaan kacamata manusia dalam melihat alam, sebagian melihat alam sebagai suatu ruang hidup dan sebagian melihatnya sebagai energi dalam mempertahakankan peradaban dan pemenuhan visi kehidupan lainnya.
Rencana eskplorasi dan eksploitasi Ake Jira adalah rentetan jilid penghancuran ekologi dan pelemahan peradaban manusia di Halmahera. Lihatlah bagaimana peradaban Sungai Nil hancur dibalik ketamakkan ekplorasi tembaga di masanya, peradaban Sungai Tigris dan eufrat memerah darah akibat perang saudara, bahkan peradaban sungai Indus harus sirna pasca runtuhnya Mahenjo Daro meruntuhkan kejayaan kesusteraan lembah hindus di masa lalunya.
Arnold J.Tonybee telah mengingatkan kita akan dampak perubahan berpikir umat manusia ke cara pragmatis (menunggangi Teknologi) yang akan membawa kita ke titik nol peradaban umat manusia itu sendiri, yakni kebutuhan, kesadaran modal sumber daya alam, persaingan dan keruntuhan. Revolusi intelektual untuk memenuhi hasrat hidup membuat kita lupa dari mana kita berasal.
Kita tak hanya butuh kesadaran negara untuk melindungi Ake Jira, tapi juga kesadaran bangsa, bahkan universal dari semua itu, sebab Ake Jira adalah 1 dari banyaknya nadi peradaban umat manusia di himpitan benua besar ini. Eksistensi umat manusia dipertaruhkan di tangan kita sendiri.(*)
Menunggu Murka
Pada tahun 1600-an para penambang disulitkan dengan iritasi kulit (Dermatitis) yang menjangkit mereka. Mereka berasumsi ini peran roh halus yang menghalangi mereka mendulang Perak dan Emas. Bagaimana bisa tubuh merespon reaksi itu, ternyata tubuh mengeluarkan reaksi inflamasi (Peradangan) sebagai antibodi (sistim imun) karena tubuh tak mengenali zat yang banyak ditemukan pada benda langit itu (meteorit).
Axel Cronstedt berhasil mematahkan mitos roh halus itu usai ia membakar zat padat itu hingga suhu maximum, tampilah sebuah logam putih kilap yang bertahan pada percobaan itu. Meteorit memang tahan panas, ia bahkan lolos meski terbakar di atmosfer dengan suhu yang tinggi untuk masuk ke bumi.
Pada tahun 1751, zat padat itu resmi dipatenkan dalam dalam katalog kimia oleh Cronstedt. Zat padat itu kian berharga karena dibutuhkan dalam konstruksi baja tahan karat serta berbagai alat kebutuhan masyarakat modern rumah tangga dan industri modern. Tingginya nilai zat padat itu di pasar dunia membuat geliat perusahaan tambang di Indonesia dan luar negeri liar dalam mencari dukungan dan izin negara dalam misi eksplorasi besar-besaran lewat cara pasar (antar Perusahaan-Negara).
Semangat itu menutup mata hati mereka soal dampak kerusakan ekologi dan fungsinya sebagai fondasi kehidupan manusia. Limbah cemaran pun tak digubris sebab biaya perbaikan ekologi lebih tinggi dari harga jual hasil explorasi.
Zat padat itu logam, tapi bukan sembarang logam langit (meteorit), masuk dalam rentetan logam berat dengan kadar racun pada air tawar berkisar 0,001-0,002 mg/liter (Scoullos-Hatzianestis, 1989). Sedang Nikel sendiri pada konsentrasi tinggi di tanah berpasir terbukti merusak tanaman di atasnya, sedang di permukaan air dapat mengurangi pertumbuhan algae (Gerberding J.L 2005). Hampir 20% manusia peka terhadap zat itu, karena sifatnya toksik (beracun) dan karsinogenik (pemicu keganasan sel).
Perhiasan dan kebutuhan rumah tangga dari turunan produknya bertanggung-jawab atas kasus iritasi kulit manusia (Dermatitis) di 1/3 populasi dunia di era ini, betapa efek itu memastikan kita dan masyarakat Halmahera terancam takkan lolos dari ranjau Dermatitis dan Kanker mematikan di masa depannya. Hantu itu adalah ‘Titan’ yang kembali mereka bangunkan murkanya di alam hijau ini. Ya, Nikel (*)
(Opini ini perna dimuat Malut post).