Orang Indonesia Dan Tanahnya Seratus Tahun Kemudian Konflik Agraria

 

Warga yang menjalankan mandat Putusan MK 35 tahun 2012 yang menegaskan hutan adat bukan lagi hutan negara. Dok AMAN

Menurut Tajuk Rencana Kompas, tanah adalah belahan jiwa. Jika ada yang mengganggu, pasti dibela (Kompas, 8/1/2020). Memang begitulah adanya.

Namun, justru pada titik itulah ada ketegangan antara negara dan warganya. Dalam sejarah Nusantara,   kebijakan silih berganti tetapi tetap saja menyisakan persoalan.

Seabad lalu terbit buku karya Cornelis van Vollenhoven, De Indonesier en Zijn Ground (Leiden, boekhandel en drukkerij, v/h E.J. Brill, 1923). Diterjemahkan menjadi Orang Indonesia dan Tanahnya (Sayogjo Institute, 2013).

Mulanya buku ini adalah pamflet akademik untuk menjegal usulan amandemen pasal 62 Regeringsreglement 1854 (Konstitusi Hindia Belanda 1854) yang diajukan pada Mei 1918  ke majelis rendah (Tweede Kamer) Belanda.

Jika pasal itu berhasil dicabut maka pengakuan hak komunitas pribumi makin tidak menentu. Paragraf tiga pasal 62 justru memuat klausul perlindungan atas hak-hak agraria komunitas pribumi.

Masa pemberlakuan politik agraria kolonial disebut van Vollenhoven sebagai “satu abad pelanggaran hak” atau “satu abad ketidakadilan”.

Tetap muram

Kelak kita ketahui keberadaan masyarakat adat berikut hak asal-usulnya diakui dalam konstitusi Indonesia. Pasca amandemen tahun 2000, tercantum pada Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3).

Namun, pengakuan konstitusi itu tidak berbanding lurus dengan kenyataan. Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) saat menyampaikan Catatan Akhir Tahun 2019 mengingatkan, di tengah ambisi pemerintahan Jokowi-Ma’ruf memuluskan investasi, rakyat marjinal dan masyarakat adat menjadi korban.

Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2019 telah terjadi 279 konflik agraria, dengan luas wilayah konflik 734.239,3 hektar. Jumlah masyarakat terdampak konflik agraria tahun ini 109.042 KK, tersebar di 420 desa di seluruh provinsi. Konflik banyak melibatkan komunitas adat.

Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2019 telah terjadi 279 konflik agraria, dengan luas wilayah konflik 734.239,3 hektar.

Jauh sebelumnya, 2014, terdapat 203 aduan dari komunitas adat. Aduan tentang pelanggaran hak atas kesejahteraan adalah yang terbanyak (155). Yang lebih menyedihkan, dalam konflik tanah dan sumber daya alam, perempuan tekena dampak ganda (multiple effect) karena tradisi patriarki  (Komnas HAM, 2016).

Bersyarat dan bertahap

Nyatanya pelanggaran hak tetap muncul meski Indonesia sebagai negara merdeka Agustus nanti 75 tahun. Kerangka hukum pengaturan pengakuan hak masyarakat adat relatif lemah. Keberadaan 2 pasal UUD 1945 seperti tidak ada gunanya.

Pemberlakukan UU Pokok Agraria 5/1960 telah menginterupsi dengan memberlakukan tiga syarat pengakuan bersyarat. Hak masyarakat adat diakui jika (1) sepanjang menurut kenyataannya masyarakat adat masih ada dan sesuai pekembangan zaman; (2) tidak bertentangan dengan kepentingan nasional; dan (3) tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pemberlakuan UU Kehutanan 41/1999 memperburuk keadaan. Pengakuan tidak hanya bersyarat namun juga bertahap. Artinya, hak masyarakat adat atas tanah dan/atau hutan misalnya, baru diakui jika keberadaan masyarakat adat terlebih dahulu ditetapkan melalui surat keputusan kepala daerah.

Jika kebetulan tanah ulayat yang akan diklaim berada di kawasan hutan maka penetapannya melalui peraturan daerah.

Putusan Mahkamah Konstitusi 35/2012 atas judicial review UUK 41/1999 yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua komunitas adat, tak banyak membantu.

Meski putusan ini mengandung substansi penting, yakni menyatakan hutan adat bukanlah hutan negara, ada pengakuan bersyarat dan bertahap itu.

Ada 3 (tiga) jebakan yang membelenggu politik hukum pengakuan hak masyarakat pasca-konstitusi. Pertama, syarat yang muncul dalam rumusan peraturan perundang-undangan adalah cermin dari romantisme nasionalisme Indonesia sebagai negara-bangsa baru, di mana segala sesuatu yang berbau tradisi dianggap tidak sesuai lagi.

Kedua, persyaratan itu muncul sebagai hasil kompromi pandangan pro-modernisme  dan pro-tradisionalisme. Pengaturan yang ambigu merupakan kompromi pandangan yang khawatir atas kentalnya feodalisme dalam sistem hukum adat dengan yang berpandangan sebaliknya.

Akibatnya, ada norma hukum yang mengatur pengakuan hak masyarakat adat dalam kasus UUPA 5/1960, namun saling bertentangan satu sama lain sehingga sulit dijalankan. Pengaturan lebih lanjut tentang pengakuan hak masyarakat adat atas tanah tidak dilakukan sebagaimana seharusnya (Abdurachman, 1984).

Jalan yang ditempuh UUK 41/1999 jauh lebih tricky. Penetapan keberadaan suatu masyarakat adat diserahkan kepada proses politik di parlemen daerah. Suatu proses yang tidak mudah diakses oleh komunitas adat pada umumnya.

Akibatnya, pengakuan riil hak masyarakat adat atas tanah dan/atau hutan pasca-Putusan MK 35/2012 sangat kecil. Saat ini tak lebih dari 25.000 ha!

Pandangan baru

Maraknya konflik agraria yang menyesengsarakan komunitas adat adalah bukti tidak terbantahkan tentang kegagalan kerangka hukum pengakuan hak masyarakat saat ini.

Suatu ironi, seratus tahun setelah buku van Vollenhoven melaporkan ‘satu abad pelanggaran hak’ dan ‘satu abad ketidakadilan’, situasi tidak berubah.

Situasi ini harus diubah. Penguasaan tanah (termasuk hutan) berpusat pada persekutuan sosial berbasis hubungan kekerabatan saja. Seperti marga raja bersama marga boru-nya (Batak Toba); kaum dan suku (Minangkabau); soa (Maluku); atau marga (dalam banyak kelompok etnik di Papua).

Sementara unit-unit sosial adat yang lebih besar, yang memiliki kecakapan untuk menyelenggarakan kewenangan yang bersifat publik sekaligus privat semacam nagari (Minangkabau) atau negeri (Maluku), akibat pemberlakukan UU Pemerintahan Desa 5/1979 di masa Orde Baru, sudah memudar.

Dengan kata lain, konstruksi hukum dalam berbagai perundang-undangan yang mengatur pengakuan hak masyarakat adat itu tidak kompatibel dengan struktur sosial masyarakat adat. Perlu dirombak total!

Membayangkan adanya ancaman separatisme dalam konsepsi pengakuan hak masyarakat adat adalah berlebihan, a-historis, dan tak memahami situasi lapangan. Justru pengingkaran pengakuan hak-hak komunitas adat akan menumbuhkan etno-nasionalisme.

Penulis: R Yando Zakaria (Antropolog, pendiri dan peneliti di Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat)

Sumber: Kompas. Edisi Selasa, 21 Januari 2020.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *