Omnibus CILAKA Yang Membawa Petaka Bagi Masyarakat Adat

Madiki Higinik, Kepala Suku Tobelo Dalam Dodaga. Halmahera, Maluku Utara

Kertas Posisi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)

Catatan Pembuka

Pada awalnya publik mengetahui bahwa Omnibus Law yang sedang dirancang diam-diam itu bernama RUU Cipta Lapangan Kerja atau disingkat dengan RUU CiLaKa. Kelompok-kelompok masyarakat sipil langsung bereaksi terhadap Rancangan Omnibus Law tersebut terutama karena proses perumusannya yang elitis dan sangat tertutup. Beberapa saat setelahnya, rancangan ini berganti nama menjadi RUU Cipta Kerja. Begitu didalami, segera saja diketahui bahwa Rancangan Omnibus Law tersebut memang layak menyandang nama RUU CiLaKa karena memang ternyata substansinya potensial mencelakai Masyarakat Adat dan lingkungan hidup.

Kesan bahwa Rancangan Omnibus Law CiLaKa pro pada investasi dan abai terhadap pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Adat tidak dapat ditutup-tutupi. Sikap tersebut ditunjukkan dengan cara-cara menghapus, menambahkan, atau menginterpretasi ulang berbagai ketentuan di dalam setidaknya 79 Undang-Undang yang telah ada. Langkah-langkah penghapusan, penambahan, atau interpretasi ulang tersebut dilakukan untuk mengabdi pada satu tujuan, yaitu “mempermudah investasi” sehingga tercipta lapangan kerja yang luas bagi rakyat, dan mendongkrak perekonomian nasional yang stagnan belakangan ini.

Salah satu masalah yang disorot dan diuraikan dalam halaman 118 Naskah Akademik RUU CK menguraikan bahwa salah satu masalah yang ada saat ini adalah “masih sulitnya memperoleh lahan dalam melakukan investasi di Indonesia, terdapat ketidakharmonisan antara Undang-Undang Penataan Ruang, UU Pokok-Pokok Agraria, UU Kehutanan dan UU sektor lainnya”.

Sekilas, uraian dalam NA Omnibus Law CiLaKa memang tak tampak salah. Tetapi dari analisa terhadap berbagai konflik dan kekerasan yang dialami Masyarakat Adat sebagai akibat dari perampasan wilayah adat telah membawa kita pada kesimpulan bahwa tanpa mengibar ngibarkan bendera hijau dan merentangkan karpet merah kepada investasi sekalipun toh faktanya selama ini negara telah menunjukkan sikap dan praktik pro pada investasi dan abai terhadap perlindungan Masyarakat Adat dan wilayah adat beserta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Artinya, Masyarakat Adat-lah yang seharusnya lebih layak berteriak-teriak mengenai ketidakharmonisan berbagai peraturan perundang-undangan yang ada.

Asummsi dan cara pandang terhadap masalah yang tidak komprehensif, sebagaimana ditunjukkan dalam NA RUU CK menunjukkan bahwa sejak awal gagasan pembentukan Omnibus Law ini, Pemerintah telah gagal mencermati fakta yang terjadi di lapangan dan gagal pula mendudukkan Masyarakat Adat pada posisi yang tepat.

Pemujaan berlebihan terhadap investasi skala besar selama ini telah menunjukkan fakta yang sangat merugikan Masyarakat Adat. Di atas pemujaan ini, wilayah-wilayah adat dirampas dan kemudian diberikan izin kepada investasi di sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan dan lain-lain. Faktanya, tanpa investasi sekalipun masyarakat adat mampu bertahan dan menunjukkan pendapatan yang tinggi.

Masalah-Masalah Pokok Rancangan Omnibus Law CiLaKa terhadap Masyarakat Adat

  • Dari sisi prosedur, penyusunan RUU CiLaKa melanggar hak Masyarakat Adat untuk berpartisipasi di dalam proses pembentukan hukum.

Pemerintah menyerahkan proses perumusan Rancangan Omnibus Law CiLaKa kepada Satgas Omnibus Law yang berisikan lebih dari 100 orang dan terdiri dari unsur pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi. Tak satupun yang berasal dari perwakilan organisasi masyarakat sipil. Sejak pembahasan Prolegnas sampai penyusunan Draf yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Perekonomian RI, Naskah Akademik dan draf RUU tidak dapat diakses oleh masyarakat. Sementara di media, pemerintahan Joko Widodo mentargetkan RUU CiLaKa selesai dalam 100 hari kerja. Hal ini jelas melanggar Pasal 89 jo 96 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mewajibkan pemerintah untuk membuka akses secara mudah segala rancangan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat. Perlu diingat bahwa pembahasan Rancangan Omnibus Law CiLaKa sekalipun haruslah tetap tunduk pada UU Nomor 12 tahun 2011 tersebut.

Pemuda Adat, menampilkan tarian khas dari Masyarakat Adat Tobelo Halmahera Utara, pada festival Canga di Halut. (Foto Abe Ngingi/AMAN Malut)
  • Rancangan Omnibus Law CiLaKa Bertentangan dengan UUD 1945 dan Hukum HAM.

Rancangan Omnibus Law CiLaKa jelas bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat yang telah diatur di dalam UUD 1945. Salah satu buktinya adalah turut dihapusnya ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengecualikan aktivitas perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kearifan tradisional Masyarakat Adat dari ancaman pidana. Dihapusnya pasal pengecualian tersebut nyata-nyata menunjukkan sikap anti negara yang secara terang benderang mengancam masyarakat adat dan kearifan tradisionalnya dalam mengelola wilayah adatnya.

Masyarakat Adat justru membutuhkan penguatan hukum terhadap praktik kearifan tradisionalnya terutama di tengah fakta tanpa dihapuspun Masyarakat Adat yang melakukan praktik berladang dengan cara membakar telah dikriminalisasi selama ini. Pada tahun 2019-2020 setidaknya telah ada lebih dari 100 orang peladang tradisional yang telah dikriminalisasi. Ini berarti bahwa ancaman kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat akan semakin besar. Celakanya, Rancangan Omnibus Law CiLaKa justeru melindungi pemegang izn usaha (perorangan dan korporasi) dari ancaman pidana sebagai akibat dari kebakaran hutan yang terjadi di area kerjanya. Perlindungan terhadap pemegang izin ini ditunjukkan dengan menghapus ketentuan pidana bagi pemegang izin usaha yang diatur di dalam Pasal 49 UU Kehutanan.

Tidak hanya aktivitas berladang dengan cara membakar, ketiadaan perlindungan terhadap wilayah adat justru akan berdampak pada semakin masifnya perampasan wilayah adat untuk kepentingan investasi. Dan hal tersebut akan berdampak pada hilangnya berbagai pekerjaan tradisional Masyarakat Adat (berladang, nelayan, pengumpul madu, kemenyan dan lain-lain) dan berdampak lanjut pada hilangnya identitas Masyarakat Adat.

Dengan demikian, Rancangan Omnibus Law CiLaKa tidak saja secara terang terangan bertentangan dengan pengakuan dan perlindungan Konstitusi terhadap Masyarakat Adat sebagaimana diatur di dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 tetapi juga menunjukkan sikap bertentangan dengan hukum HAM khususnya Konvensi ILO 111/1958 yang mengatur dan memberikan jaminan kepada Masyarakat Adat untuk menjalankan pekerjaan yang secara tradisional atau secara turun temurun digelutinya, yang oleh Konvensi ILO 111 disebut dengan traditional occupation. Selanjutnya, perampasan terhadap wilayah adat juga merupakan pelanggaran terhadap Konvensi CERD. Kedua konvensi tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

  • Rancangan Omnibus Law CiLaKa telah bermasalah sejak dari paradigma.Rancangan ini disusun di dalam alam pikir bahwa hanya investasi terutama investasi di sektor sumberdaya alam yang mampu menciptakan lapangan kerja bagi warga negara. Bagi Masyarakat Adat, cara pikir demikian adalah wujud kealpaan memperhitungkan fakta bahwa sebagian besar Masyarakat Adat justru telah memiliki pekerjaan yang secara tradisional mereka jalankan melalui aktivitas-aktivitas sebagai nelayan; bertani ladang, sawah, mengelola hutan, meramu, dan lain sebagainya. Semua hasil dari aktivitas-aktivitas tersebut dapat divaluasi dengan uang. Fakta lain menunjukkan bahwa tidak sedikit juga Masyarakat Adat yang saat ini tidak lagi menjadi nelayan, bertani ladang, sawah dan lain sebagainya itu. Sebagian besar ini justru terjadi karena ruang hidup dimana mereka mempraktikkan aktivitas-aktivitas demikian itu telah dirampas bahkan melalui peraturan perundang-undangan dan kemudian beralih ke tangan-tangan perusahaan-perusahaan perikanan, HPH, HTI, Pertambangan dan sebagainya.
  • Rancangan Omnibus Law CiLaKa juga menunjukkan rendahnya political will pemerintah untuk menyelesaikan masalah perampasan wilayah adat yang hampir selalu diikuti dengan tindakan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Penghapusan, perubahan, interpretasi ulang, dan menyusun rumusan baru berbagai UU yang tercermin dalam Rancangan Omnibus Law CiLaKa faktanya hanya menguntungkan investasi dan di sisi lain semakin jauh melupakan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat.
  • Rancangan Omnibus Law CiLaKa mengubah Pasal 19 UU Kehutanan mengenai keharusan mendapatkan persetujuan DPR dalam melakukan perubahan peruntukkan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan. Penghapusan ini jelas menghilangkan fungsi kontrol dari DPR sebagai wakil rakyat dalam menentukan perubahan kawasan dan fungsi kawasan hutan yang berimplikasi luas pada Masyarakat Adat. Ketentuan ini mencerminkan juga bahwa Rancangan Omnibus Law CiLaKa tidak mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum dan demokrasi.
  • AMAN memperjuangkan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat yang komprehensif dan holistik.

Hal ini disebabkan karena proses pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat dan wilayah adat termasuk sumberdaya alam yang ada di dalam wilayah adat beserta hak-hak tradisional Masyarakat Adat diatur secara sektoral, parsial, dan saling mengeliminasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan sektoral. Dalam posisi demikian, AMAN mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang.

Rancangan Omnibus Law CiLaKa sebaliknya justru mengambil langkah mundur dengan menghapus, mengubah, atau menginterpretasi ulang pasal-pasal pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat dan wilayah adat termasuk sumberdaya alam yang ada di wilayah adat. Bahkan Rancangan Omnibus CiLaKa mengarah pada semakin kuatnya Pengakuan Bersyarat terhadap Masyarakat Adat dan hak-haknya, dan selanjutnya mengatur proses pengakuan yang panjang dan berbelit-belit. Tidak lupa Rancangan Omnibus Law CiLaKa mengisyaratkan suatu peringatan untuk tidak bertentangan dengan kepentingan nasional (baca: kepentingan investasi).

  • Rancangan Omnibus Law CiLaKa akan memicu terjadinya kekerasan dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat yang semakin luas dan masif.

Kemudahan investasi dengan cara meniadakan partisipasi efektif dari masyarakat adat, hak untuk menggugat yang semakin lemah, hapusnya pasal-pasal penting di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UU Penataan Ruang, dan UU lainnya justru menjadi alat untuk memberi legitimasi pada semakin cepat dan luasnya perampasan wilayah adat, tidak terlindunginya hak Masyarakat Adat dan lingkungan hidup, dan hilangnya kebebasan warga negara.

  • Rancangan Omnibus Law CiLaKa juga menghapus kewenangan Pemerintah Daerah untuk memberikan izin lokasi.

Ketentuan ini hanya akan mempersulit Masyarakat Adat untuk sejak dini terlibat di dalam proses pembangunan yang berpengaruh terhadap kehidupannya. Juga mempersempit ruang bagi Masyarakat Adat untuk menguji keputusan pemerintah yang melanggar hukum.

  • Rancangan Omnibus Law CiLaKa mengatur pemberian HGU kepada pemegang usaha sampai 90 tahun.

Ketentuan ini diangkut dari ketentuan-ketentuan yang sebelumya diatur di dalam RUU Pertanahan yang telah ditolak Masyarakat Adat dan berbagai elemen gerakan masyarakat sipil lainnya. Di sisi lain, Omnibus Law CiLaKa menutup ruang bagi masyarakat termasuk Masyarakat Adat untuk mengajukan keberatan apalagi gugatan terhadap pemegang izin usaha termasuk izin usaha yang dilakukan di atas wilayah adat.

  • Omnibus Law CiLaKa menghapus Pasal 40 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur tentang izin lingkungan.

Omnibus Law CiLaKa mengubahnya dengan “persetujuan lingkungan”, yaitu pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan dihapusnya pasal tersebut maka tidak dapat dipastikan lagi apakah suatu izin usaha selaras dengan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

  • Omnibus Law CiLaKa (di dalam Pasal 17) juga memuat ketentuan yang mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru berbagai ketentuan di dalam UU Penataan Ruang, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU tentang Kelautan, dan UU tentang Informasi Geospasial.

Berbagai perubahan, penghapusan, dan/atau pemngaturan baru dimaksud selanjutnya akan diatur melalui Peraturan Pemerintah. Ketentuan semacam ini jelas menyalahi tata urutan peraturan perundang-undangan. Secara substantif, ketentuan ini sangat berbahaya bagi Masyarakat Adat karena berbagai UU yang menjadi target penghapusan, perubahan, dan/atau pengaturan baru tersebut adalah UU yang selama ini menjadi sandaran – betapapun sektoral dan terbatasnya – Masyarakat Adat untuk memperjuangkan pengakuan haknya.

  • Omnibus Law CiLaKa tidak sesuai dengan gagasan awalnya yang bertujuan untuk melakukan harmonisasi atau mengatasi tumpang tindih regulasi yang ada.

Ini dibuktikan dengan adanya ketentuan yang mendelegasikan penyelesaian tumpang tindih UU sektoral melalui Peraturan Presiden. Ini adalah gagasan yang menyalahi tata urutan peraturan perundang-undangan karena Peraturan Presiden berada dua tingkat di bawah UU.

Sikap AMAN

Dari uraian di atas maka jelaslah bahwa Rancangan Omnibus Law CiLaKa adalah kumpulan dari serangkaian gagasan yang menyesatkan, bertentangan dengan konstitusi dan hukum HAM. Rancangan tersebut tidak saja berbahaya bagi Masyarakat Adat dan keberlangsungan lingkungan hidup tetapi juga berbahaya pada eksistensi Indonesia sebagai negara hukum.

Oleh karena itu, Aliansi Masyarakat Adat Nusatara menyatakan MENOLAK pembahasan apalagi pengesahan Omnnibus Law CiLaKa atau disebut juga dengan RUU Cipta Kerja.

Selanjutnya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk memprioritaskan pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentang Masyarakat Adat menjadi Undang-Undang.

Jakarta, 2 Maret 2020

Rukka Sombolinggi
Sekretaris Jenderal AMAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *